![]() |
Gambar ilustrasi |
Hari penantian telah datang. Tiba saatnya saya harus datang menemuinya dengan semua rindu yang mendalam. Bukan karena 'hari' ini saya anggap istimewa. Hari apapun, bagi seorang perindu tak akan dipedulikannya, apakah dia minggu, senin, atau bahkan tengah petang. Bagi si perindu, hari adalah momentum, yang ketika ia datang ia menjadi sempurna.
Sempurna? Bagaimana kesempurnaan hari itu?
Konon, si perindu lahir selazimnya manusia pada umumnya. Didalam ragawinya tertanam lekat keterbatasan demi keterbatasan. Terbatas waktu, terbatas sumber daya, terbatas kemampuan, terbatas kesabaran, terbatas jua kerinduan, yang, dalam roda waktu (baca hari) tidak dapat diketemukan, kecuali oleh hari ini. Itulah hakikat hari yang disempurnakan oleh sang perindu.
Jika hari bagi si perindu adalah momentum, apakah ia akan menyambutnya?
Tentu saja Ya!
Dengan unsurnya yang telah disempurnakan, ia akan disambut dengan begitu antusiasnya bak air hujan yang turun bergemuruh.
Hanya terkadang, ego setan dengan kemampuan perusaknya yang luar biasa telah mampu meluluh lantakkan semua keadaan dengan serusak-rusaknya, hingga akhirnya sang perindu hancur berkeping-keping tanpa menyisakan rasa apapun, kecuali kebencian yang menusuk-nusuk ulu hati.
Begitu kini suasana kebatinan si perindu. Ia terlihat begitu kasihannya. Menunduk diantara rintikan-rintikan hujan yang ceria, terbujur kaku dan lesu, gundah gulana sambil terus ditertawakan tak henti-hentinya oleh si setan ego jahanam yang entah telah pergi jauh kemana.
Tapi si perindu tak ingin kehabisan cara. Dengan susah payah mengumpulkan serpihan reruntuhan isi hatinya, ia mulai bangkit mengambil pena. Menghela nafas dalam-dalam dan lalu menulis tumpukan kisah-kisah gelisah.
Dalam keadaan hancurnya, bagaimana kisah sang perindu esok?***
0Comments
Setiap komentar yang disematkan pada artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator