![]() |
Ilustrasi Pemilihan Umum (Pemilu) sumbar gambar RRI |
Wacana Kepala Daerah dipilih DPRD kembali digulirkan oleh Presiden RI Prabowo Subianto saat berpidato dalam acara ulang tahun Golkar. "Negara-negara tetangga kita efisien. Malaysia, Singapura, India, sekali milih DPRD yasudah DPRD itulah memilih Gubernur, memilih Bupati," kata Prabowo.
Keinginan agar kepala daerah dipilih DPRD bukan kali pertama dikemukakan Prabowo.
Saat DPR melakukan revisi UU Pilkada 2014 lalu yang satu diantara pembahasannya membahas mekanisme pemilihan, sejumlah partai yang tergabung dalam koalisi Merah Putih (KMP): Golkar, PKS, PAN, PPP dan Gerindra (partai koalisi pendukung Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dalam Pilpres 2014) ingin, agar kepala daerah dipilih DPRD.
Sementara partai yang lain, PDI-P, PKB, dan Hanura (partai koalisi pendukung Joko Widodo-Jusuf Kalla), juga partai Demokrat tetap ingin agar kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat.
Di tahun yang sama, perdebatan soal mekanisme pemilihan dalam UU Pilkada berlangsung alot di parlemen. Hingga akhirnya keputusan harus diambil melalui mekanisme voting. Koalisi yang tergabung dalam KMP memperoleh 226 suara. Sementara partai pengusung Jokowi-Kalla memperoleh 135 suara. Dan Partai Demokrat yang sebelumnya mendukung agar pemilihan dipilih langsung rakyat harus walk out saat voting berlangsung. Akhirnya, UU Pilkada pun disahkan dengan mekanisme pemilihan kepala daerah dipilih DPRD.
Dalam sebuah pembekalan untuk anggota legislatif terpilih 2014, Prabowo Subianto mengaku senang dengan kemenangan yang diperoleh KMP, tetapi tidak bagi Susilo Bambang Yudhoyono yang kala itu masih berstatus sebagai Presiden RI. SBY merasa kecewa dengan keputusan parlemen. Dan manifestasi dari kekecewaannya, pada tanggal 2 Oktober 2014, SBY lantas menerbitkan dua Perppu sekaligus: pertama, Perppu Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota yang esensi dari Perppu ini membatalkan kepala daerah dipilih DPRD. Kedua Perppu Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU Nomor 24 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang satu diantara isinya menghapus tugas dan wewenang DPRD untuk memilih kepala daerah.
Kemunduran Demokrasi
Banyak pihak menyebut, wacana yang digulirkan Prabowo adalah kemunduran bagi demokrasi. Ini cukup beralasan, karena bagaimanapun, kepala daerah dipilih DPRD adalah produk Orde Baru Soeharto, mantan mertua Prabowo Subianto.
Memasuki era reformasi, agenda demokrasi memang menjadi prioritas bagi semua kalangan, termasuk mendemokratisir sistem pemilu, yang untuk pertama kalinya setelah sekian lama, kepala daerah akhirnya dipilih langsung oleh rakyat pada Pemilu 2005.
Hanya baru 10 tahun kemajuan demokrasi itu dinikmati, tahun 2014, dan termutakhir, kita dibawa pada satu diskursus yang jauh mundur kebelakang.
Memang, dalam pasal 18 ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak merinci secara spesifik bagaimana kepala daerah harus dipilih. Dalam ayat ini hanya disebut,
Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis.
Hanya, setelah lahirnya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, mekanisme pemilihan kepala daerah diperjelas dengan 'dipilih secara langsung' oleh rakyat.
Dari sisi efisiensi anggaran, pemilihan kepala daerah dilakukan DPRD barangkali efisien, apalagi ditengah hari-hari ini pemerintahan Prabowo-Gibran membutuhkan banyak sekali anggaran untuk menjalankan asta citanya yang revolusioner.
Tetapi saya sangsi kalau agenda demokrasi yang sudah maju dengan ikhtiar yang begitu susah payahnya diperjuangkan harus kembali dibawa mundur.
Lalu, bagaimana seharusnya sistem pemilu, lebih spesifik pemilihan kepala daerah yang lebih ideal, efisien tetapi tetap dilaksanakan dalam koridor asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil?
Pemilu Era Modern
Dunia tengah mengarah pada gelombang modernasi sejak beberapa dekade terakhir. Ditambah kemajuan teknologi digital yang pesat, ini pada gilirannya mempengaruhi kehidupan berbangsa bernegara, menyentuh juga kehidupan sehari-hari umat manusia.
Kemajuan yang seperti gelombang air pasang ini memaksa umat manusia untuk beradaptasi dengan cepat kalau tidak ingin disapu habis kemajuan.
Dalam konteks tema tulisan ini, adaptasi dimaksud tentu saja harus mereformasi sistem pemilu dengan basis teknologi digital lebih luas lagi agar sesuai dengan kondisi jaman, bukan malah memundurkannya ke masa lalu.
Dalam banyak penelitian ilmiah, juga beberapa negara yang telah mengadopsi teknologi digital untuk pemilu, reformasi sistem ini sangat ideal, efektif dan efisien dari sisi penggunan SDM dan pembiayaan yang lebih murah.
Bahkan dalam catatan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dengan sistem pemilu berbasis digital, terjadi penghematan pembiayaan hingga 50 persen ketimbang pemilu konvensional.
Saat ini, sistem pemilu di Indonesia memang tengah mengarah kesana dengan lahirnya aplikasi Sipol, Sidapil, Sirekap, Situng dan beberapa aplikasi lainnya.
Ini termasuk kemajuan dalam sistem pemilu kita meskipun ketika diluncurkan masih banyak menimbulkan masalah-masalah teknis. Persoalan yang terakhir ini tentu tidak berarti apa-apa. Dengan dukungan pengembang aplikasi profesional, aplikasi dapat dipercanggih hingga sedemikian rupa.
Yang justru lebih penting dari itu adalah mempersiapkan payung hukum yang ketat untuk menjamin agar hak-hak warga negara tetap terpelihara sebagaimana adanya.
Soal apakah pemilu berbasis teknologi digital ini efisien atau justru resisten, beberapa negara seperti Brazil, Australia, India dan beberapa negara lainnya barangkali bisa menjadi contoh.
Keberhasilan negara-negara itu dalam menyelenggarakan pemilu berbasis teknologi digital yang efisien, efektif dan menghemat pembiayaan bukan semata-mata karena cara berfikir mereka maju. Kalau hanya alasan itu tentu saja Indonesia juga tak kalah cerdasnya. Semua ini hanya bergantung pada satu hal, "bangsa kita memiliki mental untuk maju atau tidak!".
0Comments
Setiap komentar yang disematkan pada artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator