Gambar ilustrasi seseorang menenteng tas berisi Bom/sumber foto: pixabay.com
Perang terhadap radikalisme yang mengarah pada aksi kekerasan, kebencian dan terorisme belakangan gencar dilakukan. Di dunia dimana era digital berkuasa penuh, identifikasi terhadap orang yang terpapar paham radikal sulit dilakukan.

Ini terjadi lantaran arus informasi di dunia digital begitu cepat yang memungkinkan paham-paham radikalisme cepat tersebar pula.

Dari data yang dirilis We Are Social dan Meltwater bertajuk 'Digital 2023' tercatat, masyarakat Indonesia yang menggunakan sosial media sebanyak 212,9 juta per awal tahun 2023 ini.

Dari besarnya jumlah pengguna, data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) mengemukakan 99,16% nya didominasi Gen Z dengan usia rata-rata 13 sampai 18 tahun pada 2021-2022.

Baru setelahnya, geberasi milenial dengan kelompok usia 19-34 tahun sebesar 98,64%.

Dengan besarnya jumlah pengguna sosial media, World Population Review mencatat Indonesia masuk dalam urutan ke empat terbanyak setelah Amerika Serikat.

Sampai saat ini kita tidak dapat mengakui secara utuh apakah data-data diatas sepenuhnya dapat mendatangkan kebermanfaatan bagi negara kita ditengah fakta-fakta lain yang sangat mengkhawatirkan, salah satunya, issu maraknya penyebaran faham radikalisme seperti yang akan diulas dalam tulisan ini.

Generasi Muda Rentan Terpapar Paham Radikalisme

Gen Z dan milenial tidak saja mendominasi ruang-ruang digital. Tetapi juga menjadi generasi yang paling rentan terpapar paham radikalisme yang mengarah pada aksi kekerasan dan terorisme imbas dari terbukanya ruang informasi yang luas. Setidaknya, itulah yang diakui langsung Badan Nasional Penganggulangan Terorisme (BNPT).

Sekalipun 2 sampai 3 tahun kebelakang paham-paham radikalisme dapat ditangkal sedikit demi sedikit dengan berbagai metode, wacana perang terhadap paham-paham radikalisme tidak akan berhasil signifikan kalau saja partisipasi masyarakat secara luas tidak dilibatkan.

Sampai sejauh ini, BNPT telah melakukan banyak kolaborasi dengan berbagai elemen dan membentuk FKPT: Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme serta Duta Damai sebagai ikhtiar perang terhadap radikalisme tersebut.

Sepanjang hasilnya positif, kita memang patut mengapresiasinya ditengah perangkat hukum untuk menindak ini belum memadai hingga sekarang.

Gen Z memang menjadi pasar yang ditarget untuk memenangkan program radikalisme oleh kelompok-kelompok tertentu dengan asumsi dasar, bahwa Gen Z masih sangat labil dalam bertindak, sekaligus sikap keingin tahuannya yang tinggi terhadap segala sesuatu.

Tidak saja propaganda di ruang-ruang maya dalam rangka memenangkan program radikalisme, di ruang-ruang nyata penetrasi terhadap paham-paham ini juga sangat mungkin dilakukan, bahkan di ruang-ruang ilmiah sekalipun seperti sekolah dan kampus.

Mengapa Paham Radikalisme Eksis di Indonesia?

Paham radikal di Indonesia lahir dengan akar historis yang panjang, bahkan ketika negara ini baru merdeka. Paham ini termanifestasi dalam beragam bentuk mulai dari organisasi kemasyarakatan, pelajar hingga partai politik. Paham semacam ini juga identik dengan apa yang belakangan kita kenal sebagai kebangkitan kembali populisme Islam.

Rubaidi (2020) dalam 'Radikalisme Islam, Populisme, NU dan Masa Depan Demokrasi Indonesia di Era Post Truth' menyebut, kebangkitan populisme Islam di Indonesia ditandai dengan apa yang disebut sebagai era post- truth. Suatu era yang disebut sebagai paska kebenaran ditandai dengan tidak pentingnya informasi obyektif.

Sebaliknya, informasi lebih didasarkan atas klaim-klaim sepihak yang didistribusikan melalui media sosial, baik berupa Twitter, Facebook, Whatsapp, dan lain sebagainya.

Anomali dan distorsi informasi yang diakses masyarakat luas mengenai suatu informasi yang benar melahirkan apa yang disebut sebagai hoax, hate speech, dan sebagainya.

Kalau kita telisik lebih jauh, paham ini berkembang mekar bukan tanpa sebab. Kalau masa-masa kemerdekaan paham ini mengemuka, itu lebih disebabkan pada egosentris ideologis antar pejuang-pejuang kemerdekaan kita.

Tapi dalam perkembangan mutakhir, paham ini mencuat lebih disebabkan oleh kekecewaan kelompok Islam tertentu yang merasa termarjinalkan oleh sistem yang ada sehingga merasa perlu untuk mengampanyekan bahwa Demokrasi tidak lagi menjadi jalan keluar untuk membawa masyarakat pada keadilan dan kesejahteraan.

Yang belakangan ini, penulis telah mengkajinya secara khusus dalam karya ilmiah skripsi berjudul 'Politik Moderasi Partai Islam di Indonesia'

Dukungan Terhadap Perang Radikalisme

Bonus Demografi yang digadang-gadang akan lahir harus disambut meriah tanpa diiringi masalah-masalah akut yang mendatangkan kontra produktif bagi generasi kedepannya.

Untuk dapat sampai pada era itu, paham radikalisme yang kita bahas ini harus menjadi perhatian serius.

Kontra ideologi, kontra narasi dan kontra propaganda sebagai antitesa dari paham radikalisme sepanjang efektif untuk dilakukan tidak menjadi masalah. Pun juga gagasan penguatan kebangsaan.

Tapi itu saja dirasa tidak cukup kalau saja kita tidak pernah mengenali akar pokoknya.

Ditengah kapitalisme global yang penuh dengan ketidak pastian, lapangan pekerjaan minim dan pemberdayaan ekonomi untuk gen Z minim, maka sangat mungkin untuk kelompok-kelompok tertentu memenangkan propaganda radikalisme di semua lini, termasuk sosial media.***