Sidang-sidang BPUPKI dalam mempersiapkan Indonesia Merdeka
Dalam ulasan ini, saya akan coba mengulas secara lengkap bagian dari peristiwa penting perjalanan bangsa ini ketika masa-masa awal pendiriannya, khususnya membahas para tokoh beserta latarbelakang ideologinya.

Badan Penyelidik dibentuk berdasarkan Maklumat Gunseikan - Kepala Pemerintahan Militer di bawah Seiko Sikikan, Panglima Tentara- No. 23 pada 29 April 1945 (Mahkamah Konstitusi RI, 2010) dengan maksud menyelenggarakan pemeriksaan dasar tentang hal-hal penting, rancangan-rancangan, dan penyelidikan sehubungan dengan usaha mendirikan Negara Indonesia Merdeka yang baru.

Sidang-sidang Badan Penyelidik ini berlangsung rahasia, karena dalam suasana peperangan --Jepang melawan Sekutu dengan medan perangnya di Asia Timur, termasuk Indonesia-- di gedung Tjhuo Sangi In (sekarang kantor Kementerian Luar Negeri RI Jalan Pejambon) Jakarta selama dua masa persidangan.

Pertama, Selasa 29 Mei sd Jum'at 1 Juni 1945 diikuti oleh 3 orang, masing-masing Ketua dan Wakil, serta 63 anggota. Kedua, Selasa 10 Juli sd Selasa 17 Juli 1945 dengan penambahan anggota 6 orang.

Sedangkan rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia diikuti oleh 21 orang anggota --berdasarkan Keputusan yang diambil di Saigon, 9 Agustus 1945-- ditambah 6 anggota baru --diangkat oleh Soekarno dengan persetujuan militer Jepang, 18 Agustus 1945-- menetapkan Dasar Negara, 18 Agustus 1945.

Dari sekian banyak tokoh penting pencetus ini, tanpa mengurangi rasa hormat, saya hanya akan mencantumkan beberapa tokoh saja dalam tulisan ini.

Tokoh-tokoh Penting BPUPKI

Dr. Radjiman WEDIODININGRAT (Kaityoo, Ketua Badan Penyelidik)

KESEMPATANNYA membandingkan kehidupan bangsanya dengan bangsa lain mendorong Kanjeng Raden Tumenggung Radjiman Wediodingrat menjadi aktivis pergerakan. Dokter ini menapakinya mulai dari anggota sampai menjadi Wakil Ketua Pengurus Besar Boedi Oetomo (BO) pada tahun 1914 dan 1922, lalu anggota Majelis Pertimbangan Putera.

Putera (Pusat Tenaga Rakyat) dibentuk oleh pemerintah militer Jepang 8 Maret 1942 untuk menggalang rakyat bumiputera guna membantu Dai Nippon dalam perang melawan Sekutu. Namun dalam perkembangannya justru lebih menumbuhkan semangat cinta tanah air dan ingin cepat merdeka.

Lulusan STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen, Sekolah Dokter Jawa) Batavia dan Amsterdam, dan anggota Tjhuo Sangi In inilah yang memimpin rapat-rapat pleno Badan Penyelidik bersama Fuku Katyoo (Wakil Ketua/Ketua Muda), R. Pandji Soeroso.

Radjiman berbalas kata dengan anggota yang ingin segera membahas Preambule agar pembicaraan tidak berkepanjangan. Ini berlangsung setelah Soekarno memaparkan rumusan Panitia Sembilan (Panitia Kecil) dalam rapat besar (sidang pleno), Selasa 10 Juli 1945.

"Kemerdekaan, kebebasan dalam menyatakan pendirian harus dihargai dan dihormati sepenuhnya, dan kita pun tidak boleh ragu dalam menyatakan pendirian kita," tegas pria kelahiran Yogyakarta, 21 April 1879, yang sejak kecil dididik disiplin, bekerja keras, dan kesatria itu dalam rapat di Gedung Tjhuo Sangi In.

"Sekalipun kita tidak menyetujui pendirian orang lain, wajib kita hormati pendirian itu. Janganlah kita memaksa orang lain supaya menerima dan menyetujui pendirian kita sendiri," tambah mantan anggota Volksraad itu.

Volksraad (Dewan Rakyat) dibentuk dan diresmikan oleh Pemerintah Hindia Belanda, 18 Mei 1918, berfungsi seperti Dewan Perwakilan Rakyat tapi tidak mempunyai wewenang membentuk Undang-Undang.Tujuhbelas dari 39 anggota Volksraad, berasal dari orang Indonesia

Putra Ki Soetodrono --keturunan ke-7 Kraeng Naba, saudaranya Kraeng Galesong, pendukung Trunojoyo-- dengan wanita keturunan Gorontalo ini mendapat pendidikan ELS (Europese Lagere School, Sekolah untuk bangsa Eropa dan priyayi) di Yogyakarta.

Radjiman setuju dengan pencantuman kata Bismillah di atas rancangan Pernyataan Kemerdekaan dan Pembukaan Undang Undang Dasar. Rancangan ini disetujui secara bulat, Sabtu 14 Juli 1945. Setelah Proklamasi, beliau menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), yang menjalankan fungsi legislatif sebelum lembaga perwakilan rakyat definitif terbentuk.

Ichibangase Yoshio Tekisan (Wakil Ketua Badan Penyelidik)

TIDAK ada informasi yang menyebutkan fungsi dan peran Fuku Kaityoo (Ketua Muda) yang merepresentasikan pemerintah pendudukan Jepang ini.

R. Pandji Soeroso TJONDRONEGORO (Wakil Ketua Badan Penyelidik)PENGALAMAN Soeroso di Budi Utomo, Syarikat Islam (SI), dan surat kabar Kemajoean Hindia Surabaya, mengantarkannya menjadi Ketua Muda yang memimpin rapat-rapat besar (sidang pleno) Badan Penyelidik, bergantian dengan Radjiman.

"Saya harap tiap-tiap anggota nanti sesudahnya berpidato, berhubungan dengan kepala bagian penulis cepat untuk mengoreksi pidatonya masing-masing agar di hari belakang tidak banyak yang keliru," Wakil Ketua merangkap Kepala Sekretariat itu mengingatkan.

Ketua Poetera dan Hooko Kai Malang kelahiran Porong, Sidoarjo 3 November 1893 yang sekolah di Eerste Volkschool (Sekolah Rakyat Pertama), Kweek School (SGB, Sekolah Guru Bawah), dan jurnalistik ini pernah menjadi anggota Volksraad.

Jawa Hooko Kai (Kebaktian Rakyat Jawa) didirikan 1 Maret 1944, merupakan gabungan dari Poetera yang dibubarkan, Masyumi (Majelis Syura Muslimin Indonesia), Perhimpunan Tionghoa, organisasi orang Kristen, dan perkumpulan kebudayaan, pimpinan Gunseikan, Mayjen Yamamoto Moiciro.

Posisi Soeroso sebagai Kepala Sekretariat Badan Penyelidik --karena kesibukannya-- digantikan oleh Mr. Abdoel Gaffar Pringgodigdo.

R. Abikoesno TJOKROSOEJOSO

PRESIDEN harus memberi contoh kepada seluruh rakyatnya. Begitu adik H. Oemar Said Tjokroaminoto, yang biasa mengkritik berbagai penyelewengan itu tentang usulnya dalam rapat besar, Ahad 15 Juli 1945 ketika membahas sumpah jabatan Presiden dan Wakilnya.

Sumpah usulan putra R.M. Tjokroamiseno --pensiunan Wedana Kanigoro, Madiun-- yang dikenal tegas, lugas, dan berani ini kandas dalam pemungutan suara. Bunyinya sebagai berikut :

Demi Allah, saya bersumpah sebagai Presiden (Wakil) Presiden akan memegang teguh dan memelihara Undang-Undang Dasar Republik Indonesia. Saya bersumpah akan mempertahankan dan menjaga dengan jiwa raga saya Kemerdekaan dan Kedaulatan Negara, akan melakukan semua usaha yang ditentukan oleh segala Undang-Undang masyarakat dan peraturannya untuk menjaga dan memajukan kemakmuran dan kesejahteraan nusa dan bangsa.

Menurut tokoh Partai Syarikat Islam Indonesia Kediri yang lahir di Ponorogo, 15 Juni 1897 ini dalam rapat besar, Ahad 15 Juli 1945, jika Presiden RI dilantik dengan sumpah itu, dan menyediakan jiwa raganya untuk menjaga kemerdekaan dan kedaulatan negara, Presiden akan mendapat kepercayaan penuh dari tentara.

Ketika Soekarno berdebat dengan Ki Bagoes Hadikoesoemo yang menguatkan argumen kyai Ahmad Sanoesi, Abikoesno lah yang mengingatkan keduanya pada kompromis golongan Islam dan Sekuler. "Kalau tiap dari kita harus misalnya membentuk kompromis itu, kita dari golongan Islam harus menyatakan pendirian, tentu saja kita menyatakan sebagaimana harapan tuan Hadikoesoemo," katanya dalam sidang pleno Badan Penyelidik, Sabtu, 14 Juli 1945.

Pemimpin Redaksi majalah bahasa Jawa, Sri Djojobojo yang mengenyam pendidikan di Keningin Emma School Surabaya, dan korespondensi dengan Belanda hingga lulus arsitek ini wafat di ibukota provinsi Jawa Timur, 1981.

K.H. Ahmad SANOESI

FATWA-nya yang mengharamkan khatib mendo'akan bupati dalam khotbah Jum'at --karena bupati diangkat oleh penguasa kafir-- mengakibatkan kyai Sanoesi diasingkan oleh pemerintah Hindia Belanda ke Batavia Centrum (Jakarta Kota). Dalam pengasingannya, beliau tetap menjalin komunikasi dengan jama'ahnya.

Ulama inilah yang pertama kali meminta kata-kata "bagi pemeluk-pemeluknya" dicoret dari Preambule sehingga kalimatnya menjadi Ke-Tuhanan dengan kewajiban menjalankan Syari'at Islam saja. Permintaan itu menanggapi laporan Syuusa (ketua) Soekarno, Selasa, 10 Juli 1945 yang kalimatnya dipandang janggal.

Usul Syuu Sangi Kai Bogor itu didukung oleh Ki Bagoes Hadikoesoemo, Ketua Pengurus Besar Muhammadiyah, karena kata-kata itu menambah janggal, dan tidak ada artinya. Setelah diingatkan tentang perjanjian luhur antara golongan nasionalis sekuler dan nasionalis Islami (22 Juni 1945), keduanya tidak ingin mementahkan rumusan yang telah disepakati.

Ketika ketua sidang menawarkan stem (voting) terkait pasal kontradiktif (multi-tafsir)* --mengganggu aqidah Islam-- yang dipertanyakan oleh K.H. Masjkoer, secara spontan pendiri Al Ittihadul Islamiyah (All) yang menerima pelajaran agama langsung dari sang ayah ini menepisnya. "Tidak bisa Tuan, tidak bisa di-stem. Perkara agama tidak bisa di stem. Kita terima usul Tuan Masjkoer atau Tuan Moedzakkir, usul yang 'menurut agama' jangan memakai 'agamanya', karena Indonesia walaupun tidak memakai agama toh akan Merdeka," tegas tokoh kelahiran Sukabumi 18 September 1888 (3 Muharram 1036 H) itu.

Kyai Masjkoer menemukan rancangan pasal multitafsir. Presiden itu harus bersumpah menurut agamanya mengundang pikiran orang beragama apa saja boleh jadi Presiden walaupun Republik Indonesia ada kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Bila selain orang Islam menjadi Presiden, apakah dapat menjalankan Syari'at Islam dengan baik atau apakah umat Islam dapat menerimanya?

Tokoh yang berkenalan dengan politik setelah bersentuhan dengan aktivis Syarikat Islam di Mekkah ini, minta agar hal-hal laan pembicaraan, diselesaikan dengan bertukar pikiran, sehingga senyata-nyatanya kita menjadi satu negara persatuan baru. "Kalau soal jawab (perdebatan) yang sudah dijalankan ini, tidak akan terjadi suatu negara persatuan, tetapi negara perpecahan meskipun namanya persatuan," kata guru pesantren Cikembar, Sukabumi itu.

Sanoesi mengingatkan sangat beratnya membangun negara kerajaan karena bilamana seorang diangkat menjadi raja, ia sudah menjadi wakil mutlak Tuhan. Tidak boleh dipotong, di bawah, dipecah. Kerajaan harus terus menerus. "Yang jadi raja harus orang yang sangat suci, kalau baru suci saja tidak pantas jadi raja. Kalau seorang suci, harus seratus kali suci. Sucilah yang menjadi raja," ungkapnya (10 Juli 1945)

Beliau mengingatkan perintah Allah dalam al Qur'an surat Yusuf yang mewajibkan mengangkat seorang menjadi kepala negara. "Oleh karena itu supaya kita bahagia, saya setuju negara Indonesia yang menjadi kepala negara seorang imam seusai dengan agama Islam, yang 950% umat Islam," tutur ahli agama itu.

Ketika sidang berlangsung panas, ulama ini berupaya mendinginkan suasana. "Saya minta kepada tiap hadirin yang menjadi wakil 70 juta, dengan tenang, dengan sabar bermusyawarah. Islam mempunyai Tuhan, tidak Islam mempunyai Tuhan, minta perlindungan supaya tenang." imbau kyai Sanoesi, Ahad, 15 Juli 1945.

Kyai Sanoesi menghidupkan organisasinya menjadi POII (Persatoean Oemmat Islam Indonesia), dan menggabungkannya dengan Persyarikatan Ulama Islam menjadi Persatuan Umat Islam (PUI). Putra Haji Abdoerrahim bin Haji Jasin, dan mantan penasehat Syarikat Islam Sukabumi ini wafat di Bogor tahun 1950.

K.H. Abdoel HALIM

SEKOLAH hendaknya tidak mengajarkan ilmu pengetahuan (agama dan umum) saja, tetapi juga ketrampilan praktis sebagai bekal kehidupan, sehingga tamatannya tidak menggantungkan diri pada lowongan pekerjaan di pemerintahan. Demikian pendapat ulama kelahiran Majalengka 17 Juni 1887 yang peduli pada bidang pendidikan dan ekonomi itu.

Kyai Abdoel Halim mendirikan Hajatul Qulub, organisasi ekonomi dan pendidikan, walaupun tidak bertahan lama, karena tersaingi pedagang Cina. Pada 16 Mei 1916, beliau mendirikan madrasah Jam'iyat 'lanatul Muta'alli- mien karena:

pendidikan di Indonesia lebih dikuasai oleh golongan konservatif; masyarakat Islam banyak menyimpang dari tuntunan agamanya;
Ingin mengembalikan ajaran Islam kepada sumbernya, Al Qur'an dan Hadits; terpengaruh organisasi Islam yang menuju ke pembaharuan, dan ingin membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan.

Pendiri Syarikatul Ulama --yang kemudian berubah menjadi Persyarikatan Ulama Islam-- dan anggota Tjhuo Sangi In ini juga menulis Da'watul Amal, Tarikh Islam, Neraca Hidup, Kitab Penunjuk Bagi Sekalian Manusia, Risalat, ljtima'iyah Wailanjuha, kitab Tafsir Tabarak dan lain-lain. Sentuhannya dengan gerakan Islam dimulai di Mekkah ketika jumpa dengan tokoh Muhammadiyah, KH. Mas Mansoer dan pendiri Nahdlatul Ulama, KH. A. Wahab Chasboellah. Perkenalan itu mendorongnya mendirikan organisasi sekembalinya ke tanah air.

Anak penghulu di Jatiwangi yang belajar Al Qur'an dan Hadits pada usia 10 tahun ini menimba ilmu dari pesantren ke pesantren, dan di tanah suci. la menggabungkan organisasi besutannya: Persyarikatan Ulama Islam dengan Persatuan Umat Islam Indonesia menjadi Persatuan Umat Islam (PUI). Tokoh ini wafat tahun 1962, dalam usia 75 tahun.

Prof. Dr. R. Djenal Asikin WIDJAJAKOESOEMA

PROFESIONAL ini menekuni bidang kesehatan, sebagai dosen, manajer dan praktisi medis, serta penulis masalah kedokteran/kesehatan dalam bahasa Belanda. Pendidikannya STOVIA, dan Instituut voor Tropische Geneesk di laiden.

Laki-laki kelahiran Manonjaya, Tasikmalaya 7 juni 1891 ini bekerja di CBZ (Central Burgelijk Ziekenhuis)- sekarang RSUP Nasional Cipto Mangunkusumo--, RS Militer Jakarta, Wakil Kepala RSU Negeri, dan guru tinggi Ika Daigaku Jakarta.

R. Mas ARISANGGOTA Tjhuo Sangi In kelahiran Karanganyar, Kebumen 2 Januari 1901 yang memperoleh pendidikan Standard School (Sekolah Dasar 4 tahun), HIS (Hollands Inlandshce School), dan Kleind Ambteenaar Examen (Ujian Pamongpraja) ini bekerja di Jawatan Kehutanan Cepu. Pendidikannya di Middlebare Landbouw School (Sekolah Menengah Pertanian).

Pamong praja ini menjadi anggota Badan Penyelidik berangkat dari Gityoo Pati Syuu Sangi Kai (Ketua Dewan Penasehat Karesidenan Pati).

R. Abdoel Kadir WIDJOJO ATMODJO

KEUANGAN negara berdasar atas kekuatan tenaga pekerja dari seluruh rakyat dan kekayaan alam dalam lingkungan negara yang harus menjadi sumber kemakmuran bersama. Demikian usul Abdoel Kadir pada masa reses Badan Penyelidik, 2 Juni - 9 Juli 1945.

Sebelum reses, Kamis, 31 Mei 1945 lulusan OSVIA (Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaaren, Sekolah Pamongpraja bagi Pribumi) Serang ini menyatakan, pada masa peperangan, dasar yang terpenting dan yang paling utama adalah persatuan guna pembelaan tanah air.

Putra dokter R. Taroenomihardjo yang lahir di Binjai (Sumatra) 6 Juni 1906 ini meniti karir dari Mantri Kabupaten Jatinegara, asisten wedana Ciputat, jaksa Tasikmalaya. Staf Batavia Tokubetsu Shico (Walikota Istimewa) ini berpendapat, persatuan yang kokoh kuat harus tercapai dengan berani membuang kepentingan sendiri.

Dasar, sistem dan struktur organisasi kepolisian dan tentara gagasan Abdoel Kadir terpakai hingga terbentuknya BKR (Badan Keamanan Rakyat), 22 Agustus 1945. Staf Boei Giyugun Shidobu (Kantor Bimbingan Tentara Sukarela Pembela Tanah Air) yang mendapat pangkat Mayor Jenderal ini wafat di Jakarta, 21 Januari 1961.

Dr. R. Boentaran MARTOATMODJO

SESUNGGUHNYA dalam negara yang berdasarkan kekeluargaan tidak boleh lagi ada fakir miskin dan anak- anak terlantar. Karena itu dokter kelahiran Purworejo 11 Januari 1896 ini, mengusulkan dalam rapat besar (pleno), Ahad 15 Juli 1945. 'Kesehatan rakyat seluruhnya dipelihara oleh negara' sebagai ganti Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara' yang ditolaknya.

Lulusan STOVIA pada usia 22 tahun ini meneruskan studinya ke Leiden, dan kemudian menjadi dokter Hindia Belanda --yang menjelajah berbagai daerah--, bekerja di CBZ, Jawatan Pemberantasan Penyakit Lepra di Semarang, Wakil Ketua Tjhuo Sangi In di Jakarta, dan Syuu Hookoo Kai Semarang.

Wakil Ketua Barisan Pelopor yang pernah bergabung dengan Perhimpunan Pelajar Indonesia ini juga berkecimpung dalam Penolong Korban Perang (Pekope), dan Komite Pembantu Rakyat. Dia menjadi Ketua Partindo (Partai Indonesia) pada zaman Orde Lama.

Bendoro Pangeran Harjo BINTORO

PEJABAT Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat kelahiran Yogyakarta, 2 Agustus 1914 dan mengenyam pendidikan ELS, HBS, dan Universitas Leiden (walaupun tidak selesai), ini mewakili unsur kerajaan.

Ki Hadjar DEWANTARA

BERSAMA Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo, anggota Boedi Oetomo dan Syarikat Islam ini mendirikan Indische Partij, 6 September 1912. Pada tahun 1919 mendirikan Perguruan Taman Siswa. Pada zaman pendudukan Jepang menjadi Empat Serangkai pimpinan Poetera dan anggota Tjhuo Sangi In.

Cucu Sri Paku Alam III yang lahir di Yogyakarta 8 Mei 1889, bernama lahir R. Mas Soewardi Soerjoningrat ini menempuh pendidikan ELS, Kweek School dan STOVIA (tidak tamat) dan menekuni Jurnalistik. Motto Ki Hadjar yang terkenal: Ing ngarso sung tulodo ing madyo mangun karso tutwuri handayani, di depan memberi teladan, di tengah berkarya, dan di belakang mengayomi. Beliau wafat 26 April 1959

Agoes Moechsin DASAAD

"ALLAH ialah sumber dari segala hidup dan firman- Nya seperti yang dinyatakan dalam Qur'an, baik dalam Al Kitab, maupun dalam alam, haruslah (menjadi) pedoman dalam kemasyarakatan hidup kita," ucap laki-laki kelahiran Sulu (Filipina), 25 Agustus 1905 itu dalam sidang Badan Penyelidik, Selasa 29 Mei 1945.

Keyakinan itulah yang mendasari pendapatnya, "bahwa dari gedung kemerdekaan di dalam mana kita orang sebagai rakyat merdeka nantinya akan hidup adalah Allah, Yang Mempunyai semua Kekuasaan dan Kebijaksanaan, Yang Memerintah dan Memimpin".

"Pemerintahan Indonesia Merdeka itu haruslah berdasar kepada Tuhan Allah Yang Mengendalikan langit dan bumi, agar kita dapat mempersembahkan gedung kemerdekaan ini, selaku pengucapan syukur ke hadirat Tuhan. Hendaknya kita diperkenankan membangunkan dan menyiapkan gedung kemerdekaan ini tidak menurut pemandangan dan perasaan kita sendiri, melainkan atas pimpinan-Nya," ujar pengusaha itu.

Fuku Gityoo Tokobetu Sangi Kai (Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Daerah Istimewa) Jakarta itu mengatakan, Manusia tidak memandang bangsa dan kedudukan dalam segala lapangan hidup, termasuk dalam lapangan pemerintahan haruslah menjunjung tinggi nama dan kemuliaan Tuhan. Tidak dibeda-bedakan kedudukan atau kebangsaan maupun dalam hal pengakuan Muslimin Kristen dan Budha, karena semua manusia sama dalam pandangan Tuhan".

Tokoh yang mengenyam pendidikan Sekolah Rendah dan Sekolah Dagang di Singapura itu merintis usahanya dari pembantu pemegang buku Loa Mock en Coy, penjual pada The Anglo Egyptian Trading Coy, pimpinan organisasi penjual Soerabajasche Sigaretten Fabriek, Lausim Zechaen Coy, kuasa Malaya Import my Djakarta.

Prof. Dr. Pangeran Ario Hoesein DJAJADININGRAT

TOKOH kelahiran Kramat Watu, Serang, 8 Desember 1886 ini mendukung usul Yamin supaya Preambule dibagi tiga, dan setuju kata Bismillah ditulis sebelum Pembukaan. "Saya kira juga bisa ditangkap oleh kaum Kristen," tambah bangsawan yang akrab dengan orientalis (ahli masalah ketimuran) Dr. Christian Snouck Hurgronye.

Snouck adalah warga Belanda yang mempelajari Islam, pernah mukim di Mekkah dan menikahi muslimah. Dia memperkenalkan adat kebiasaan yang mempunyai implikasi hukum dengan teori receptie-nya yang dipandang tendensius oleh Hazairin, karena menelantarkan hukum Islam yang berlaku di Nusantara.

Putra R. Bagoes Djajawinata dan Ratu Salehah ini pada masa kecilnya dibiasakan mengaji Al Qur'an. Setelah belajar bahasa Belanda di Menes (Pandeglang), dan ELS di Serang, melanjutkan ke Batavia dan berhubungan dekat dengan Snouck yang mempergunakan ilmunya untuk kepentingan penjajahan. Ketika di kelas III HBS, Hoesein ke Belanda dengan bimbingan Snouck Hurgronye. Di Leidsche Gymnasium, ia belajar bahasa Latin dan Yunani Kuno kemudian melanjutkan ke Universitas Leiden jurusan bahasa dan kesusastraan Nusantara, sampai meraih gelar Doktor.

Sekembalinya di Nusantara, dia bekerja pada Jawatan Bahasa, menjadi guru besar RHS (Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta, memberikan kuliah Hukum Islam, bahasa Melyu, Jawa, dan Sunda, la juga menjadi redaktur majalah Jawa, dan konservator naskah pada Lembaga Kebudayaan Nasional, Museum Nasional.

Hoesein menjadi anggota Raad van Indie (Dewan Hindia), presiden kurator Bataviaasche Hooge Schoolen, Indonesische Studie Fond, pemberi beasiswa bagi pemuda cerdas berbakat. Anggota Kyukan Seido Ghosa Kai ini menyelidiki adat istiadat dan tata negara.

Bersama Soepomo, Soewandi, Singgih, Sastromoeljono, Soetardjo, dan Soebardjo, 15 Juni 1945 menyampaikan draft Undang Undang Dasar kepada Zimukyokutyo agar dibahas dalam Badan Penyelidik.

Drs. Mohammad HATTA

"MUNGKINKAH hukum didasarkan kepada Qur'an semata-mata?," tanya putra Syeikh Abdurrahman dengan Siti Soleha lulusan Nederlandsch Hendelschooge School Roterdam (1932) itu dalam pidatonya tentang "Agama dan Negara" di Sanyo Kaigi (Dewan Penasehat), 16 Desember 1944. 

Aktivis Jong Sumatranen Bond kelahiran Bukittinggi 12 Agustus 1902 ini menjawabnya sendiri. "Logika yang sehat mengatakan tidak mungkin bagi dunia dan masyarakat sekarang. Qur'an istimewa adalah dasar agama Islam, bukan kitab hukum," tegas Hatta yang bernama asli Mohammad Athar itu.

Berbagai hukum keperluan hidup sekarang, seperti hukum pergaulan dan perhubungan warga negara, hukum dagang, hukum kerja dan banyak lainnya, menurut tokoh yang pernah menjadi Ketua Indonesche Veregining (Perhimpunan Indonesia) di Belanda, dan redaksi majalah Indonesia Merdeka itu, tidak terdapat aturannya yang secukup-cukupnya dalam Qur'an.

Anggota Tjhuo Sangi In ini menguraikan, sejarah cukup memberi bukti, tak mungkin Negara bisa berdiri dengan memakai Qur'an sebagai hukumnya semata-mata. Rakyat Negara itu sendiri mesti mengadakan hukum hidupnya yang teratur dengan permusyawaratan bersama. 

Tiaptiap orang akan mengemukakan paham yang berdasar kepada keyakinan agamanya, tetapi hasilnya yang didapat sebagai hukum adalah hukum negara, bukan lagi hukum agama. "Mungkin satu hukum negara yang banyak terpengaruh oleh hukum agama atau yang jiwanya jiwa agama," kata cucu ulama tharikat di Sumatra Barat itu.

Tokoh Empat Serangkai pimpinan Poetera ini menyatakan, kita tidak akan mendirikan Negara dengan dasar perpisahan antara 'agama' dan 'negara', melainkan kita akan mendirikan negara modern di atas dasar perpisahan antara urusan agama dengan urusan negara.

Kalau urusan agama dipegang oleh negara, maka agama menjadi perkakas negara, dan dengan itu hilang sifatnya yang murni. "Urusan Negara urusan kita semua. Urusan agama Islam adalah urusan umat dan masyarakat Islam semata-mata," tegasnya di akhir pidato.

Dalam rapat besar, Ahad 15 Juli 1945, Hatta sependapat dengan Syuusa Soekarno yang menentang individualisme. "Saya sendiri boleh dikatakan lebih dari 20 tahun berjuang untuk menentang individualisme. Kita mendirikan negara baru di atas dasar baru, di atas dasar gotong royong dan hasil usaha bersama". 

Adapun tentang pertanahan, Hatta mengusulkan (16 Juli 1945), tanah adalah kepunyaan masyarakat. Orang seorang berhak memakai tanah sebanyak yang perlu baginya sekeluarga.

Ketika studi di Belanda, dan dia mendapat informasi bahwa Sartono dan kawan-kawan hendak membubarkan PNI (Partai Nasional Indonesia) yang didirikan oleh Soekarno, karena sejumlah pimpinannya ditangkap, Hatta lantas menyurati Sartono. 

"Jangan kita membubarkan partai, biarlah Pemerintah jajahan yang menghancurkannya," tulis pendukung sekulerisme itu. Begitu kembali ke tanah air, Agustus 1932, ia mendirikan dan memimpin PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) Baru.

Pada awal Republik Indonesia, tokoh berpendidikan di ELS, MULO di Padang, Prins Hendriks School di Jakarta ini dekat dengan Soekarno, sehingga dikenal sebagai tokoh dwi-tunggal. 

Ketika meletus pemberontakan komunis di Madiun, 18 September 1948 yang dipimpin oleh Muso, PKI menuding peristiwa berdarah itu akibat provokasi Hatta.

Kekecewaannya terhadap kepemimpinan Presiden Soekarno yang menumpuk kekuasaan pada dirinya sendiri, mendorong Hatta mundur dari jabatannya sebagai Wakil Presiden (Desember 1956). Pada awal Orde Baru. 

Hatta dinobatkan sebagai Bapak Koperasi Indonesia, dan hendak mendirikan Partai Demokrasi Islam, tetapi keinginannya itu tidak terwujud. Proklamator Kemerdekaan ini meninggal di Jakarta, 1980 dalam usia 78 tahun.

Ki Bagoes HADIKOESOEMO

BAGINYA, dalam masalah aqidah tidak kenal kompromi. Sesuai dengan prinsip dan keyakinannya itulah, tokoh ini secara tegas menolak saikeirei --menghormat ke arah matahari terbit-- karena diyakininya sebagai peribadatan agama Shinto yang dianut oleh kebanyakan bangsa Jepang.

Akibat dari sikapnya, Ki Bagoes berurusan dengan Kempeitai (militer Jepang), dan beliau datang sendiri ke markas militer di Yogyakarta. Setelah menjelaskan, dirinya pemeluk agama Islam, dan menurut ajaran Islam menyembah kepada selain Allah itu musyrik, sang komandan pun membebaskannya.

Begitu pula dalam satu kunjungan ke Jepang bersama Soekarno dan Hatta (awal Agustus 1945) untuk memenuhi undangan Kaisar Teno Heika (Hirohito). Beliau memakai busana adat Jawa lengkap dengan blangkonnya. 

Dalam perjamuan Ki Bagoes minta cawan. Usai bersulang, beliau langsung menuangkan sake (minuman khas Jepang yang memabukkan) ke dalam cawan. Kaisar tidak tersinggung, malahan menghormati keyakinan tamunya. 

Ketegasannya dalam aqidah tercermin dalam sidang-sidang Badan Penyelidik. "Islam itu mengandung ideologi negara. Maka tidak bisa dipisahkan antara negara dan Islam," ujar Ketua Muhammadiyah (1942-1953) itu dalam rapat besar, Ahad 15 Juli 1945.

"Kalau ideologi Islam tidak diterima, tidak diterima. Jadi nyata, negara ini tidak berdiri di atas agama Islam, dan negara netral. Ini terang-terangan saja, jangan diambil sedikit kompromi sebagaimana Tuan Soekarno bilang. Pilih saja mana yang disukai, ini lebih baik adanya", tegas ulama kelahiran Yogyakarta 1890 ini dalam rapat Panitia Hukum Dasar, mendukung pernyataan Kyai Masjkoer dan Kyai Moedzakkir.

Dalam sidang Kamis 31 Mei 1945, Ki Bagoes dalam pidatonya (belum banyak diungkap dalam naskah tentang UUD) menyatakan antara lain :

1) Meskipun sekarang tidak ada Nabi dan Rasul lagi, tetapi firman-firman Allah yang disampaikan kepada Rasul terakhir Muhammad Saw tetap utuh sampai akhir zaman, harus dipelajari dan dilaksanakan hingga melahirkan masyarakat baru;

2) Wakil rakyat dalam bermusyawarah harus dapat berlaku sebagai pewaris para Nabi, dan segala permusyawaratan harus berdasarkan keihklasan, suci dari sifat tamak dan mementingkan diri dan golongan sendiri;

3) Akhlak perseorangan harus mendapat perbaikan. Dalam memperbaiki masyarakat, para Nabi dan Rasul bermula dengan menitikberatkan pada budi pekerti perorangan;

4) Islam mengajarkan persatuan atas dasar persaudaraan yang kokoh, maka bangunlah Negara atas dasar ajaran Islam;

5) Agama pangkal persatuan. Jangan takut mengemukakan agama di mana pun;

6) Semangat berselisih merupakan pangkal perpecahan, warisan kolonial, dan penghalang persatuan;

7) Islam mementingkan perekonomian dan pertahanan negara yang total, lahir bathin;

8) Islam membangun pemerintahan yang adil dan menegakkan keadilan berdasar kerakyatan dan musyawa- rah serta kebebasan memeluk agama;

9) Islam dasar yang sebaik-baiknya bagi negara kita, sangat sesuai dengan kebangsaan kita;

10) Imperialis senantiasa berusaha melenyapkan Islam, dan/atau memakainya sebagai alat untuk memecah-belah bangsa yang dijajahnya;

11) Apa sebab hukum Islam tidak berlaku di Indonesia pada masa yang lampau, padahal 90% penduduknya beragama Islam? Sebabnya tidak lain karena tipu muslihat curang pemerintah Hindia Belanda, yang hendak melenyapkan agama Islam dari jajahannya, karena mereka tahu selama bangsa Indonesia berpegang teguh kepada agama Islam, tidak menguntungkan mereka. 

Oleh karena itu hukum Islam yang berlaku di Indonesia sedikit demi sedikit dihapus dan diganti dengan hukum yang mereka kehendaki;

12) Agama Islam membentuk potensi kebangsaan lahir dan batin, serta menabur semangat kemerdekaan yang menyala-nyala. "Karena itu jadikanlah Islam sebagai asas dan sendi Negara," pinta putra Rd. Kaji Lurah Hasjim --ulama Kesultanan Yogyakarta- pengagum KH. Ahmad Dahlan itu.

Dalam rapat, Selasa, 10 Juli 1945, beliau mengingatkan, sungguhpun dalam rapat baik --karena semua sudah saudara serapat-rapatnya--, tidak apa-apa, tetapi di luar (dipandang) tidak baik. 

"Sebab itu, ambil saja isinya, saya mufakat dengan isinya dan lekas akan datangnya Indonesia Merdeka. Dahulu saya tidak mufakat, tetapi karena saya pikir benar, saya sekarang mufakat sekali," ujar ahli bahasa Jawa --yang belajar dari Rd. Ngabehi Sastrosugondo--, tamatan Sekolah Rakyat yang juga belajar bahasa Melayu, Belanda dan Inggris.

"Kalau mau melihat pemimpin, lihatlah ruang tamunya. Kalau ruang tamunya bagus, berarti orang itu mementingkan papan (rumah), dan artinya dia itu bukan pemimpin," pesan tokoh yang mendapat dasar-dasar keIslaman dari ayahnya, baru kemudian belajar dari pesantren ke pesantren.

Sebagai anggota Parlemen, tokoh Nasionalis Islami yang terus mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan itu menolak fasilitas kendaraan yang hendak diberikan kepadanya. "Saya jadi anggota parlemen bukan untuk mencari mobil," ujar pribadi bersahaja yang wafat di RS Pugeran, Yogyakarta 3 September 1954, setelah mengidap kanker paru itu.

Mr. R. HENDROMARTONO

"SEMUA kekayaan alam dan kekayaan masyarakat yang penting bagi penghidupan semua atau sebagian besar penduduk desa adalah milik masyarakat desa". Aktivis buruh kelahiran Rembang 31 Desember 1908 ini mengatakan hal itu dalam sidang Badan Penyelidik di bekas gedung Volksraad, Kamis 31 Mei 1945.

Upaya untuk memerdekakan tanah-tanah yang dijajah, anjuran hidup kekeluargaan, memberantas penindasan kaum lemah yang dicita-citakan Dai Nippon, katanya, sama dengan maksud pergerakan rakyat Indonesia, dan karenanya disambut gembira.

Hendromartono bergabung dalam Serikat Sekerja Persatuan Pegawai Spoor dan Tram (PPST), Persatuan Pegawai Pelabuhan Kapal (PPPK), Persatuan Pegawai Petroleum Mij (PPPM), dan Gabungan Serikat Sekerja Partikelir Indonesia (GASPI).

Penasehat Konferensi International Labour Organization (ILO) di New York ini berpendapat, Indonesia belum saatnya merdeka, tetapi supaya mengadakan perubahan- perubahan besar dalam masyarakat guna melicinkan ke arah itu.


"Kokohnya sumber penghidupan penduduk, terjaminnya keadilan dalam pembagian benda kekayaan masyarakat (kekayaan alam), dan keadaan desa Indonesia yang belum mengenal adanya hak milik atas tanah dari penduduknya, harus menjadi grondkleur (warna dasar) negara Indonesia," kata lulusan RHS Batavia, pimpinan Partai Sosialis (fusi Partai Rakyat Sosialis dan Partai Sosialis Indonesia), redaktur harian Indonesia Raya, dan Anggota Dewan Kota Praja Batavia itu

Mr. Muhammad YAMIN

YAMIN-lah orang yang mengingatkan Soekarno agar kalimat 'Dengan nama Allah, Yang Pengasih dan Penyayang' ditulis di atas kata Pembukaan, karena menurut perasaan Islam 'Bismillah' hendaklah di atas Pembukaan.

Hal itu disampaikan oleh pria kelahiran Sawahlunto 23 Agustus 1903 itu dalam rapat besar, Sabtu, 14 Juli 1945. Dalam sidang sehari setelah pelantikan dan pengambilan sumpah anggota Dokuritzu Zyunbi Tyoosa Kai, Selasa 29 Mei 1945, aktivis Jong Sumatranen Bond ini menyampaikan pokok-pokok pikirannya perihal pembentukan negara, antara lain tentang negara kebangsaan, tujuan kemerdekaan (dasar kemanusiaan, kedaulatan rakyat atau kedaulatan negara) peradaban Indonesia yang mempunyai Ketuhanan Yang Maha Esa, permusyawaratan, perwakilan, dan kebijaksanaan.

Perumus Kongres Pemuda 1928 ini mencermati kekurangan dari rancangan yang disiapkan oleh panitia. Ia menyampaikannya dalam rapat besar Ahad, 15 Juli 1945, antara lain: 1) Kedaulatan rakyat dan agama Islam belum mendapat tempat dan pelaksanaan yang sempurna; 2) Perlindungan kemerdekaan warga negara harus diterangkan dan dijamin, 3) Kesejahteraan hendaklah diterangkan dan dijamin dengan sejelas-jelasnya, 4) dan Mahkamah Tinggi Islam supaya dibentuk dalam Balai Agung.

"Balai Agung jangan saja melaksanakan bagian kehakiman, tapi juga hendaklah menjadi badan yang membanding, apakah undang-undang yang dibuat oleh Dewan Perwakilan Rakyat tidak melanggar Undang Undang Dasar Republik, atau bertentangan dengan hukum adat yang diakui, ataukah tidak bertentangan dengan syariah agama Islam," ucap ahli hukum konstitusi itu, Ahad 15 Juli 1945.

Putra dari Usman gelar Bagindo Khatib (mantri kopi) dan Siti Sa'adah yang mengenyam pendidikan Sekolah Angka Dua, HIS (Hollands Inlandshce School, Sekolah untuk pribumi) ini menolak segala alasan tidak dimasukkannya aturan kemerdekaan warga negeri, karena semua konstitusi di dunia memuat perlindungan tersebut.

Dalam rapat besar, Rabu 11 Juli 1945, Yamin mengingatkan, Republík Indonesia bukanlah satu Republik anti Tuhan, melainkan Republik yang ber-Tuhan. Kita menjaminnya beberapa hal dalam Preambule dan konstitusi. 

Dalam beberapa konstitusi negeri Islam, disebutnya, di atas konstitusi ditulis kalimat yang menjadi segala kalimat awal bagi orang Islam, yaitu dimulai dengan kalimat Atas nama Allah Yang Maha Kuasa. 

"Kalimat ini hendaklah kita tuliskan di atas segala garis konstitusi dengan mengingat contoh konstitusi Irak, Persia, dan Mesir".

Yamin yang belajar bahasa Belanda dan Melayu, sekolah di AMS Bogor, dan RHS (Sekolah Tinggi Hukum) Jakarta ini menunjuk Undang-Undang Dasar Dai Nippon, Filipina dan Tiongkok sebagai misal. 

Ia menegaskan tiap langkah kita dalam sidang hendaklah mendekatkan kita pada pintu gerbang Indonesia merdeka dengan selekas-lekasnya merancangkan hukum dasar dari negara Indo- nesia merdeka.

"Aturan dasar tidaklah berhubungan dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus diakui dalam Undang-Undang Dasar," kata anggota Majelis Pertimbangan Poetera, yang mendirikan Parpindo (Partai Persatuan Indonesia) setelah selisih paham dengan pimpinan Gerindo lainnya, dalam rapat besar Badan Penyelidik.

Dengan dikembalikannya dokumen/arsip sidang-sidang Badan Penyelidik kepada pemerintah RI, dan ditemukannya naskah pidato para tokoh pada masa itu, buku susunan Yamin, yang selama ini menjadi acuan, dipertanyakan otentisitasnya.

Menurut Kusuma, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945 susunan Yamin berbeda dengan arsip yang ditemukan pada masa belakangan. Tulisan mantan Ketua PB Parpindo ini dinilai sebagai pangkal kekeliruan persepsi terhadap UUD 1945, karena penyusunnya menggunakan ringkasan risalah rapat yang hanya 4 halaman, padahal naskah aslinya 17 halaman. Kekeliruan juga dikarenakan adanya tambahan-tambahan dalam naskah yang disusun oleh Yamin. (AB Kusuma, 2009).

R.A.A. Soemitro Kolopaking POERBONEGORO

"JIKALAU kita mendapat kemerdekaan yang nyata selekas mungkin, nanti kita jalankan sebaik-baiknya Undang-undang dasar ini," kata Bupati Banjarnegara kelahiran Banyumas 14 Juni 1887 ini dalam rapat besar Badan Penyelidik, Ahad, 15 Juli 1945.

Pernyataannya itu dikemukakan setelah Soepomo menjelaskan bahwa baik buruknya Undang-Undang Dasar, tidak tergantung dari rancangannya, tetapi juga bagaimana pelaksanaannya. Tamatan Universitas Leiden ini setuju kata Bismillah ditulis sebelum Pernyataan Kemerdekaan dan Pembukaan Undang Undang Dasar.

Mr. Dr. R. Soelaiman Effendi KOESOEMA ATMADJA

KONSEPSINYA merupakan perwujudan perpaduan nilai-nilai unsur kultur Islam dengan hukum Barat, yang bentuknya berupa perpaduan hukum adat, hukum Islam dan hukum Barat (hukum positif). Anak Rd. Sutadilaga (wedana Rengkasdengklok) kelahiran Purwakarta 8 September 1898 ini menyatakan, konsepnya dalam upaya mencari bentuk hukum yang tepat bagi bangsanya. la menuangkan dalam disertasi De Muhammadaansche Vrom Stichtingen in Indie yang membahas masalah wakaf di Indonesia, yang dipertahankannya di Universitas Leiden, Belanda, 15 Desember 1922.

Lulusan Rechtschool Jakarta (1919) ini meniti karir sebagai hakim dan pegawai pada Pemerintah Belanda dan pendudukan Jepang. Pasca Proklamasi ia ditugasi membentuk Mahkamah Agung, dan kemudian menjadi Ketuanya. Ialah yang mengambil sumpah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta sebagai Presiden dan Wakil Presiden RI pertama.

Mr. Johannes LATUHARHARY

PUTRA Maluku pertama yang meraih gelar Meester in de rechten (sarjana hukum) dari Universitas Leiden ini mensosialisasikan keputusan Badan Penyelidik dan penolakannya atas pencantuman syari'at Islam dalam Pembukaan, --walaupun alasannya dipatahkan oleh argumentasi Haji Agoes Salim dan A. Wachid Hasjim, dan pencantuman Syari'at Islam sudah disahkan secara bulat dalam rapat besar Badan Penyelidik 14 Juli 1945 dan 16 Juli 1945-- kepada utusan Kaigun (wilayah Angkatan Laut) di kantor Minseibu (pemerintah militer) di Surabaya, Ahad 12 Agustus 1945.

Pertemuan tersebut dilakukan untuk menyamakan sikap menghadapi rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan di Ja-karta.

Pertemuan yang diprakarsai Jepang itu, menurut catatan utusan dari Sulawei, menyetujui sikap negara yang netral terhadap agama, karena mereka menganggap agama sebagai masalah pribadi, dan dalam hal ini tiap-tiap manusia merdekalah yang akan memilih agamanya. 

Dan bahwa agama Islam dipentingkan karena banyak pemeluknya, berarti merugikan umat agama lain, sehingga persatuan seluruh rakyat Indonesia mungkin tidak akan kekal. Anak dari Yan Latuharhary, --guru Saparuasche School (HIS)-- kelahiran Saparua, 6 Juli 1900 ini menjadi pegawai tinggi Gunseikan.

la ditunjuk oleh penguasa militer untuk mewakili Maluku, karena pada masa perang tidak mungkin menghadirkan tokoh (yang berdomisili) dari Maluku. Dalam pertemuan di Surabaya itu Latuharhary berhasil mempengaruhi Sam Ratulangi, Andi Pangeran Pettarani, dan I Gusti Ketut Pudja, yang menjadi utusan dari Kaigun. 

Aktivis Serikat Ambon dan PPPKI (Persatuan Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia) ini bersama utusan dari Kaigun mempengaruhi mahasiswa Prapatan 10 untuk menolak tujuh kata dalam Piagam Jakarta. 

Bila tidak dicoret, Indonesia Timur akan berdiri di luar Republik Indonesia. Inilah yang oleh Hatta dianggap sebagai "aspirasi" dari Indonesia Timur.

Pengacara Kristiani yang fasih berbahasa Belanda, Inggris, dan Jerman ini pernah menjadi anggota Regentschapsraad di Kraksaan, dan Dewan Perwakilan Provinsi di Surabaya (1942). 

Ketika di Jakarta, aktivis Parindra ini mengurus keperluan keluarga mantan KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indische Leger, Tentara Kerajaan Hindia Belanda, yang personilnya berasal dari orang Indonesia) yang terlantar. Mendiang meninggal dunia November 1959.

R.M. Margono DJOJOHADIKOESOEMO

TOKOH kelahiran Purbalingga, Jawa Tengah, 16 Mei 1894 yang mengenyam pendidikan ELS, dan OSVIA Magelang ini lebih dikenal sebagai presiden direktur Bank Negara Indonesia yang didirikannya pada tahun 1946.

Cicit R.T. Kertanegara 

--pengikut setia Pangeran Diponegoro-- itu pada masa penjajahan menjadi pamong praja, Dinas Perkreditan Desa, Jawatan Koperasi, penulis pada Kantor Pusat Koperasi Perdagangan Dalam Negeri (Gabungan Pusat Koperasi Indonesia) di Jakarta.

Mr. Alexander Andreas MARAMIS

TOKOH Kristiani kelahiran Manado, 20 Juni 1897 ini merupakan salah seorang penandatangan Piagam Jakarta, dan menganjurkan Mr. Soepomo menyusun hukum dasar berdasarkan Preambule yang telah disetujui bersama (Jum'at, 22 Juni 1945).

"Saya mengusulkan di sini, supaya sesudah panitia kecil menerima Preambule sebagai dasar dari hukum dasar, kita ciptakan disini tentang ueitvoerende macht (eksekutif), wetgevende macht (legislatif), dan rechterlijke macht (yudikatif). Jadi mengingat 3 pasal dari Trias Politica, sebab yang lain tokh tidak bisa dijalankan," usul tokoh perkauman Kawanua yang aktif dalam Kebaktian Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) ini dalam rapat besar Badan Penyelidik, Rabu, 11 Juli 1945.

Anggota organisasi gerejani berpendidikan ELS Manado, HBS Batavia, dan RHS Leiden yang bergabung dalam Perhimpunan Indonesia di Belanda. Aktivis kepemudaan ini menolak menjadi anggota Volksraad, dan lebih memilih profesinya sebagai pengacara. Maramis menjadi anggota Poetera, Tjhuo Sangi In, dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno.

Perbedaan pandangannya dengan tokoh pendiri PNI (Soekarno), mendorong putra Andi Maramis dengan Charlotte Ticoalu ini untuk mengundurkan dari pang- gung politik dan lebih menekuní dunia pengacara sampai akhir hayatnya. Aktivis gerejani dari Minahasa yang teguh dengan prinsip ini wafat di Jakarta, 31 Juli 1977.

K.H. Abdoel Kahar MOEDZAKKIR

ISLAM itu sistem yang lengkap, kaidah-kaidahnya tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Selain agama, Islam adalah filsafat hidup dan ideologi bai masyarakat dan negara. Begitu pemahaman dan keyakinan pria kelahiran Yogyakarta, 16 September 1907 ini yang disampaikan dalam sidang Badan Penyelidik, Ahad 15 Juli 1945.

"Saya mau bikin kompromi, Paduka Tuan Ketua, supaya Tuan-Tuan anggota Tyoosa Kai senang hatinya, yaitu kami sekalian dinamakan wakil-wakil umat Islam mohon dengan hormat, supaya dari mula pernyataan Indonesia Merdeka sampai kepada pasal di dalam Undang Undang Dasar, yang menyebut-nyebut Allah atau agama Islam atau apa saja, minta dicoret sama sekali. Terima kasih." Kata cicit Kyai Hasan Boechari --komandan lasykar Pangeran Diponegoro-- yang mengenyam 13 tahun pendidikan di Mesir itu lalu menggebrak meja.

Tokoh yang bersahabat dengan Sayyid Quththub --penulis tafsir Fie Zhilalil Qur 'an-- itu menunjukkan ketegasan sikapnya berpegang pada aqidah Islam dalam merespon pandangan Soekarno tentang pasal kontradiktif yang hendak dikompromikan oleh Soekarno, dan dipertanyakan oleh Kyai Masjkoer. Beliau menolak kompromi.

Tentang masalah yang menyangkut aqidah Islam, tokoh Muhammadiyah yang juga aktivis Partai Islam Indonesia ini dalam rapat pembahasan (rancangan) Undang Undang Dasar menegaskan penentangannya,

"Segala yang berkenaan dengan nama Allah, nama agama dan rahmat-Nya, dan berkat-Nya dan lain-lain, pendeknya segala perkataan Allah, rahmat-Nya, berkat-Nya, pertolongan-Nya ini minta dicoret dari Undang-Undang Dasar. Mengenai wilayah negara, lulusan Universitas Al Az-har (Kairo, Mesir) itu menyatakan dalam sidang (10 Juli 1945), apabila bangsa Indonesia mempunyai ketinggian kehendak dan kemauan, dan menjunjung tinggi apa yang diangan-angankan, maka hendaklah sanggup pula mengakui Tanah Melayu itu sebagian dari tanah air kita. Sungguh beberapa halaman di antara tanah air kita telah jatuh dari tangan kita. "Oleh karena itu kewajiban kita membela tanah air, bukanlah tanah air yang masih selamat saja. akan tetapi juga mengembalikan setiap jengkal tanah air kita dengan kekuatan kita," tambah intelektual yang fasih berbahasa Arab, Inggris, Syria, dan Ibrani itu.

Moedzakkir minta kepada para anggota Badan Penyelidik untuk mengheningkan cipta supaya hati tidak dipengaruhi oleh sesuatu hal yang tidak suci, tetapi dengan segala keikhlasan menghadapi keputusan berkenaan dengan bentuk negara yang akan didirikan, dengan hati yang murni, tidak terpengaruh oleh sesuatu maksud tidak suci. "Saya mohon kepada paduka tuan-tuan sekalian, sukalah tuan-tuan berdiri di hadapan hadirat Allah Subhaanahu wa Ta'ala untuk meminta do'a," pintanya.

Pada zaman pendudukan Jepang, Abdoel Kahar menjadi anggota MRI (Majelis Rakyat Indonesia), dan ketika perang kemerdekaan, beliau memimpin Lasykar Hizbullah-Sabilillah bergerilya mengusir kolonialis Belanda yang hendak menancapkan kembali kukunya di bumi Nusantara. Pengakuan Mesir negara pertama di dunia mengakui kemerdekaan Indonesia-, tidak lepas dari pengaruh aktivitas beliau selama di negeri piramida itu.

Dalam sidang-sidang Konstituante, wakil umat Islam penandatangan kesepakatan moral 22 Juni 1945 ini tanpa tedeng aling-aling menuding golongan kebangsaan (sekuler) telah melanggar Perjanjian Luhur. Oleh karena yang itu, beliau enggan mengakui keputusan 18 Agustus 1945 sebagai 'perjanjian luhur', karena penghapusan tujuh kata kompromis tidak melibatkan wakil umat Islam ikut menyusunnya.

Rektor UIII (Universitas Islam Indonesia) (sebagai perubahan dari Sekolah Tinggi Islam, setelah 3 tahun dipindahkan ke Yogyakarta) ini menerima pendidikan Islam dari ayahnya, KH Moedzakkir, sebelum menimba ilmu dari pesantren ke pesantren, dan melanjutkan studinya ke Mekkah dan Kairo.

Sampai akhir hayatnya, beliau mendedikasikan ilmunya di Fakultas Hukum UII. Tokoh mahasiswa dan biasa naik andong dan becak dari rumah ke kampus ini wafat di kota kelahirannya, 3 Desember 1973.

H. Agoes SALIM

KITA tidak bermaksud membuat Hukum Dasar (Undang Undang Dasar) sebagai undang-undang istimewa. 

"Undang-undang tidak usah dianggap sebagai barang yang sakti, sebab kita tidak membuat undang-undang (dasar) seperti di Perancis, sebagai satu perdamaian atau perjanjian antara dua pihak (yang bertikai)," ucap putra Soetan Mohammad Salim --Jaksa Kepala di Riau-- kelahiran Agam (Sumatra Barat) 8 September 1884, penyandang nama kecil Mashoedoel Haq itu dalam rapat Panitia Hukum Dasar, Rabu, 11 Juli 1945.

Pemimpin yang gemar membaca buku-buku ilmu pengetahuan dan agama dari sarjana Barat dan Islam ini mengatakan, salah satu tujuan mulia, yang terpakai dalam Hukum Syara' dalam Islam dan hidup dalam adat bangsa-bangsa kita Indonesia, satu perkara yang mustahil menurut paham bangsa Barat, yaitu: Mencapaikan kebulatan mufakat.

"Dunia Barat menunjukkan kepada kita cara musyawarat sebagai pengganti berkelahi, memenangkan suara yang banyak dari yang sedikit, karena barangkali kalau sesuatu (dengan) bicara tidak dapat selesai, lalu kita bertentangan dengan kekuatan tenaga badan, yang banyak akan menang dari yang sedikit," kata cendekiawan yang menguasai sembilan bahasa asing itu dalam rapat besar Badan Penyelidik, Rabu, 11 Juli 1945.

Sangkaan ini kita lihat tidak benarnya. "Dalam riwayatnya demokrasi Eropa menunjukkan kepada kita, suara yang banyak itu hanya sebagiannya terdiri dari aliran yang berkeyakinan tepat ditambah dengan sebagian besar suara dari satu golongan tengah, yang tidak tentu berkeyakinan sama," papar tokoh yang tetap hidup melarat meskipun pernah menjadi pejabat negara itu.

Mufakat yang kita cari berlainan sekali dengan demokrasi Barat. Jika dalam permusyawaratan, ada satu bagian besar yang dengan kekerasan keyakinan hendak menyampaikan sesuatu maksud dengan kerelaan penuh untuk menyumbangkan tenaga dan usahanya untuk mencapai maksud itu, jika tidak terus terang maksud itu, diyakinkan akan menjadi bahaya atau bencana besar, bagian yang lain dalam permusyawaratan tidak berkeras, melainkan membulatkan kata sepakat supaya boleh dengan ikhlas menjalankan keputusan bersama, sehingga bolehlah terbukti betul atau salahnya.

Sebagian besar pesisir Nieuw Guinea, menurut Agoes Salim, menjadi daerah taklukan kerajaan Ternate sebelum dijatuhkan oleh kekuasaan Portugal dan Spanyol. Jejak kita ke Nieuw Guinea memang sudah lama. 

Tanah Melayu jika tidak ada senapan Inggris yang sengaja membelokkan riwayatnya, niscaya tidak akan ada penduduk lainnya melainkan orang Indonesia belaka dan semata-mata. "Hanyalah dengan politik Inggris bangsa Indonesia menjadi lemah kedudukannya di medan ekonomi di Tanah Melayu, sebab politik Inggris tidak memikirkan siapa yang lebih berhak atas tanah itu tetapi memilih siapa-siapa yang lebih cepat memberi cukai untuk kepentingan Inggris," tokoh otodikdak ini ingatkan.

Pemikiran wartawan dan aktivis pergerakan Islam yang mengenyam pendidikan di ELS, HBS V Jakarta, tetapi gagal mendapat beasiswa dari STOVIA ini, mewarnai penyusunan Preambule Undang-Undang Dasar. 

Bersama Husein Djajadiningrat dan Soepomo, Agoes Salim ditunjuk sebagai Panitia Penghalus Bahasa rancangan Undang Undang Dasar 1945. Wajarlah apabila Yusril Ihza Mahendra (2002) menyebut Salim sebagai Bapak Cendekiawan Muslim Indonesia.

Tokoh yang teguh pendirian dan tidak segan-segan mengingatkan ketika ada usul yang dapat mementahkan kesepakatan bersama ini, pada masa penjajahan, menjadi Sekretaris Konsulat Hindia Belanda di Jeddah.

Beliau mendirikan HIS, menjadi pengurus Syarikat Islam, dan mendirikan Perserikatan Buruh Islam Indonesia. Keluar dari Syarikat Islam, wartawan ini mendirikan Penyadar yang bertujuan memperjuangkan Islam. Pribadi yang percaya diri, dan diakui kecendekiaannya ini wafat 4 November 1954 di RS Jakarta.

Ir. SOEKARNO

TOKOH bernama lengkap Koesno Sosro Soekarno ini ingin membuat Undang-Undang Dasar baru, --tidak membebek UUD negara lain-- yaitu berisi paham keadilan yang menentang individualisme dan liberalisme, berjiwa keke- luargaan, dan gotong royong.

"Buanglah tiap-tiap indivi- dualisme," anjur putra Soekemi dengan Ida Ayu Nyoman Rai yang lahir di Surabaya 6 Juni 1901 itu dalam rapat besar, Ahad, 15 Juli 1945. 

Menurutnya, jika suatu bangsa cukup kekuatan batin- nya untuk mengatasi segala kesukaran barulah dapat di- susun Undang Undang Dasar tersebut, dan oleh karena- nya Undang Undang Dasar itu menjadi suatu yang dikeramatkan, dalam arti yang tidak mengenai hal agama.

Haglan Tiga Latar Belakang teolog "Ini sekedar peribahasa, yaitu 'yang dikeramatkan oleh bangsa yang membuatnya', ungkapnya dalam sidang pleno, Senin 16 Juli 1945.

Dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia karya Cindy Adam, Presiden RI pertama ini mengaku dirinya sebagai nasionalis revolusioner, ultra nasionalis dan supra nasionalis. 

Dalam perjalanan politiknya, pengenyam pendidikan ELS, HBS, dan THS Bandung ini cenderung dekat dengan komunis, sehingga dia meninggalkan atau ditinggalkan oleh pendukungnya pada masa kemerdekaan.

Pengagum Kemal Attaturk --peletak dasar sekulerisme di Republik Turki, dan penghancur kekhalifahan Usmani-- ini dikenal sebagai salah seorang pemimpin gerakan nasionalis (sekuler) Indonesia. 

Di matanya, orang komunis dianggap sebagai pejuang besar, yang senantiasa berdiri di belakangnya.

Tokoh Jawa Hooko Kai dan ketua Tjhuo Sangi In ini dalam rapat-rapat Badan Penyelidik gigih membela Piagam Jakarta, tetapi dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia berbalik 180 derajat. Soekarno mensponsori penghapusan tujuh kata dalam Pembukaan dengan minta Teuku M. Hassan melobby Ki Bagoes Hadikoesoemo agar mau menghapusnya.

Dia menjadikan politik sebagai panglima. Revolusi makan anaknya sendiri merupakan ungkapan yang biasa dilontarkannya. Wartawan Mochtar Lubis menilai Soekarno gagal mengembangkan diri menjadi negarawan. "Kepemimpinannya merupakan gaya politikus yang membina kekuasaan dengan menjalankan politik adu domba antar golongan," tulis pemimpin redaksi harian Indonesia Raya itu.

Pentolan komunis mengitari dirinya, malah di ambang kejatuhannya Soekarno membiarkan dirinya dalam dekapan PKI. Tidak mengherankan apabila Bung Karno menyatakan Marhaenisme sebagai Marxisme yang diterapkan di Indonesia.

Tokoh-tokoh kritis, dan berseberangan baik dari kalangan pers dan politisi dipenjarakan tanpa proses hukum. Kawan pendukungnya dalam Badan Penyebar Soekarnoisme (BPS) terpinggirkan.

Presiden Soekarno jatuh setelah pemberontakan Gerakan 30 September/PKI di tengah rumor Dewan Jenderal. Pidato pertanggung-jawabannya di depan Sidang Umum MPRS 1966 berjudul Nawaksara ditolak.

Bung Karno meninggal, 1970, dalam usianya 69 tahun-dalam status tahanan rezim Orde Baru di Wisma Mandala --sekarang museum sejarah TNI--, dan dimakamkan di Blitar. Lawan politik yang pernah dipenjarakannya, Kasman Singodimedjo ikut mengantarkan jenazah mendiang Soekarno.

Prof. Mr. Dr. SOEPOMO

"SISTEM demokrasi liberal itu penjelmaan individualisme, yang menyebabkan kemurkaan dunia, imperialisme dan peperangan antar manusia", tegas Soepomo dalam rapat, Ahad 15 Juli 1945. Panitia Perancang Undang-Undang Dasar, tidak menghendaki sistem parlementair, karena sistem itu merupakan penjelmaan dari aliran pikiran demokrasi liberal yang kita tolak.

Dalam masa sidang pertama Badan Penyelidik, ahli hukum kelahiran Sukoharjo 22 Januari 1903 yang lebih berperan sebagai narasumber itu menguraikan berbagai teori negara dan adanya dua paham, yaitu negara menurut pandangan ahli agama dan negara persatuan nasional yang dianjurkan oleh Hatta. 

la juga menjelaskan perbedaan "Negara Islam" dan "Negara berdasar atas cita-cita luhur dari agama Islam".

"Tadi dengan panjang lebar sudah diterangkan oleh anggota Tuan Soekarno bahwa dengan menerima Pembukaan ini kita telah menolak aliran pikiran perseorangan. Kita menerima dan menganjurkan aliran pikiran kekeluargaan. Oleh karena itu, undang-undang dasar kita tidak bisa lain, harus juga mengandung sistem kekeluargaan," ujar putra R.T. Wignjodipoero itu dalam rapat besar Badan Penyelidik, Ahad 15 Juli 1945.

Lulusan Universitas Leiden yang menjabat sebagai Kepala Kantor Perundang-undangan (Hooki Kyoku Cho) Departemen Yustisi, dan anggota Mahkamah Agung (Saai Koo Hooin) itu berpendapat, undang-undang harus mempunyai sistem. Karena itu, segala pasal-pasal dalam undang-undang dasar harus sesuai dengan sistem hukum yang dipakai di dalamnya. 

Artinya dalam undang-undang dasar, pasal-pasalnya tidak boleh mengandung aliran-aliran pikiran yang bertentangan satu sama lain," ucap pakar konstitusi yang mengaku tidak ahli itu sambil memisalkan, dalam undang-undang dasar, kita tidak boleh memasukkan pasal. pasal yang tidak berdasar aliran kekeluargaan.

Negara menurut pengertian Pembukaan yang sudah kita terima itu, kata Soepomo dalam rapat besar, Ahad, 15 Juli 1945, menghendaki persatuan, yang meliputi seluruh bangsa Indonesia. Inilah dasar yang tidak boleh dilupakan:

1) Negara yang berdasar atas hidup kekeluargaan, akan menyelenggarakan dasar itu ke dalam, dan juga keluar.

2) Negara yang berkedaulatan rakyat, berdasar atas kerakyatan dan permusyawaratan perwakilan. Ini sesuai dengan sifat masyarakat Indonesia.

3) Negara berdasar atas Ketuhanan menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab. Ini harus mengandung isi yang mewajibkan pemerintah dan lain-lain penyelenggara negara memelihara budi pekerti luhur, dan memegang cita-cita moral yang luhur.

4) Negara Indonesia memperhatikan keistimewaan penduduk terbesar, beragama Islam yang terang dinyatakan dalam Pembukaan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.

Soepomo menerangkan, Panitia Perancang Undang- Undang Dasar, termasuk kyai Wachid Hasjim dan Agoes Salim (golongan Islam) maupun dari golongan lain misalnya Latuharhary dan Maramis menerima dengan bulat pasal 28 bab II Agama yang berbunyi:
Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. "Sebetulnya menurut Gentlemen's Agreement, pembukaan saja sudah cukup, akan tetapi kita maju selangkah, memasukkan juga da- lam Undang Undang Dasar," paparnya.

Guru besar hukum tata negara Recht Hooge School (RHS) Jakarta ini menyatakan, "dengan menerima Pembu- kaan, kita tidak dapat bertindak lain selain membentuk Undang Undang Dasar yang berdasar atas aliran pikiran dalam Pen kaan".

Oleh karena itu pula, selaku Ketua Panitia Perancang Hukum Dasar, Soepomo mematuhi kesepakatan 22 Juni 1945. Sesuai dengan anjuran Maramis dan Wongsonagoro, ahli konstitusi ini menyusun pasal-pasal Undang Undang Dasar berdasarkan arahan Preambule yang memuat anak kalimat "dengan kewajiban menjalankan syari'at Islam bagi pemeluk-pemeluknya". (Kusuma, 2009)

Kata Soepomo, sistem pikiran yang meliputi rancangan UUD ini menghendaki: Pertama, supremasi hukum, artinya menghendaki negara yang berdasar atas hukum (Recht), menghendaki satu Rechtstat, bukan negara yang berdasar kekuasaan (machtstaat); Kedua, konstitusional, artinya pemerintahan yang berdasar atas konstitusi (hukum dasar) bukan pemerintahan yang absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas); Ketiga, pemerintahan negara yang memberikan predominence dalam kekuasaan negara pada pemerintah, terutama kepada Kepala Negara, concentration of power and responsibility di tangan Kepala Negara.

Mengenai soal tanah, beliau berpendapat, hukum adat asli Indonesia tidak menolak sistem hak milik seseorang. Tanah mempunyai functie social, artinya negara menguasai tanah dan penduduk berhak memiliki tanah, Tapi cara mempergunakan hak milik tanah itu haruslah sesuai dengan sifat kemasyarakatan hak itu.

"Hak milik seseorang tidak boleh dipergunakan sewenang-wenang dengan tidak memperdulikan kepentingan masyarakat. Hak milik mengandung kewajiban untuk mempergunakan miliknya menurut fungsi sosial dari tanah," jelas Soepomo dalam rapat, Senin 16 Juli 1945 itu.

Tokoh yang pernah memimpin Pengadilan Negeri Jakarta dan menjadi anggota Panitia Hukum Adat dan Tata Negara, serta Kepala Departemen Kehakiman (Shijobucho) ini berpendapat, kita tidak usah membikin Hukum Dasar yang sempurna, lebih baik yang sederhana, tetapi bisa dijalankan sekarang. "Kalau perang habis, kita bikin lagi yang sesuai dengan waktu itu," tambahnya.

Tentang sistem pemerintahan negara, secara tegas Soepomo menyatakan, kita menganut Sistem Pemerintahan Sendiri --Presiden mempunyai kekuasaan besar dalam bidang eksekutif dan legislatif, tetapi tunduk di bawah MPR--, bukan Sistem Presidensiel seperti Amerika Serikat dan bukan pula Sistem Parlementer seperti di Inggris. Penegasan ini didukung oleh Soekarno, Hatta, Soekiman, Yamin, Soetardjo dan lain-lain.

Mr. Raden Ayu Maria Ulfah SANTOSO

MEESTER on the Rechten dari Universitas Leiden, Belanda --putri R.A.A. Mohammad Achmad dan R.A. Hadidjah Djajadiningrat-- yang lahir di Semarang 18 Agustus 1911 ini menyatakan, tiap-tiap putera Indonesia yang cakap dapat dipilih menjadi Kepala Negara.

Guru Perguruan Rakyat berpendidikan ELS, HBS V yang mengikuti pertemuan Liga Anti Kolonialisme di Eropa ini merupakan pencetus Undang Undang Perkawinan bagi umat Islam.

Raden Nganten Siti Soekaptinah Soenarjo MANGOENPOESPITO.

USAI ketua Soekarno melaporkan hasil kerja Panitia Kecil, putri R. Penewu Abdoel Wahid Mustopo yang hirkan di Yogyakarta 28 Desember 1907 ini minta kepada ketua rapat besar untuk membahas sesuai rancangan Preambule agar tidak memakan waktu dan terarah,

"Panitia Kecil sudah menghasilkan satu rancangan dengan bentuk dasar dan susunan negara. Jadi saya minta baiklah rancangan panitia itu saja yang mula dibicarakan, supaya di situ nanti timbul hasilnya, siapa yang akur, dan supaya di situ nanti di-stem," usulnya menyimak silang pendapat anggota Badan Penyelidik, Selasa 10 Juli 1945.

Ny. Soenario merupakan aktivis Jong Java, Konggres Perempuan Indonesia, Jong Islaminten Bond bagian wanita. Ketua PB Istri Indonesia, Dewan Kota, dan menjadi Ketua Pusat Fujin Kai (pengganti Pusat Tenaga Rakyat) bagian Wanita. Setelah kemerdekaan, perempuan berpendidikan MUL0 ini menjadi anggota pimpinan partai Masjumi dan Konggres Wanita Indonesia (Kowani).

OEI Tjong Hauw.

TIONGHWA tidak menghalangi Indonesia Merdeka, tidak merendahkan pribumi seperti sangkaan beberapa pemimpin. Begitu sanggahan anak pedagang yang dididik supaya menjadi pengusaha besar itu. "Kerakyatan dari negara merdeka bukan satu barang yang ditawarkan pada orang. Satu negara merdeka harus menetapkan dia punya kerakyatan di dalam hukum dasar," ucap warga keturunan Cina kelahiran Semarang 1904 ini.

"Kita orang jangan lupa, sebelum perang Dai Toa, di Indonesia pun ada gerakan Tionghoa yang oleh pemerintah Hindia Belanda dinamakan De Chineesche Beweging (Gerakan Tionghoa)," ujarnya dalam sidang Badan Penyelidik, Rabu 11 Juli 1945.

Meskipun dirinya memilih kerakyatan Tiongkok, pihaknya bersedia 100% membantu rakyat Indonesia dalam mendirikan negara merdeka, menurut kepandaiannya. "Kita orang sebagai rakyat yang juga berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan sepenuh-penuhnya tentu tidak akan menghalang-halangi, bahkan akan membantu rakyat Indonesia dengan sepenuh tenaga buat mendirikan negara merdeka," tegas ketua Perkumpulan Hua Chiau Tong Hui itu pula.

Oei yang mengorganisasikan pemuda Cina untuk memperkuat perjuangan dokter Sun Yat Sen --tokoh kemerdekaan Tiongkok-- ini menolak kerakyatan Belanda karena tidak memberikan hak yang sama kepada anak bangsa lainnya.

OEI Tiang Tjoei

PERASAAN kebangsaan adalah suatu instinct untuk mempertahankan diri sebagai bangsa. Kalau perasaan itu tidak terbit, timbul ada bahaya, bangsa itu akan lenyap sebagai bangsa, dan riwayatnya pun hilang. Demikian wakil peranakan Cina itu dalam rapat Badan Penyelidik, Rabu 11 Juli 1945.

"Saya sebagai bangsa Tionghoa yang memang ada di sini, akan meninjau juga di belakang saya, yang saya sudah dapat pendirian akan menyerahkan tenaga bagi kepentingan Republik Indonesia," ucapnya sambil menambahkan, pihaknya minta dalam hukum dasar bagi rakyat Indonesia dibuat sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, dan kasih (berikan) ketika masing-masing memilih merdeka dengan sukarela.

Oei Tiang Tjoei yang lahir di Jakarta tahun 1893 ini pernah ditahan pemerintah jajahan Belanda akibat aktivitasnya yang pro Jepang. Anggota Tjhuo Sangi In yang mewakili Cina Jawa Barat ini menjadi Presiden Hua Chiau Tong Hui dan pemimpin surat kabar harian Kung Jung Pao.

LIEM Koen Hian

HATI manusia merupakan dasar dari berbagai dasar negara yang merdeka. Jika hatinya baik, pikirannya pun baik dan melahirkan buah (pikiran) yang baik. "Hati yang baik, yaitu hati yang jujur dan cinta semua bangsanya, yaitu bangsa manusia. Orang bisa atur beres keluarga, rumah tangganya, dan selanjutnya negerinya dan dapat mendatangkan perdamaian dunia serta persaudaraan dari sekalian bangsa manusia," ucap tokoh Partai Tionghoa Indonesia itu dalam sidang Kamis, 31 Mei 1945.

"Sebagai orang yang berada di luar negara (Tiongkok), orang Tionghoa itu bekerja sama di mana ia dilahirkan dan dibesarkan", kata aktivis Gerindo itu. Atas nama orang Tionghoa yang ditemuinya, Liem minta supaya Undang Undang Dasar menetapkan semua orang Tionghoa saat ini menjadi warga negara Indonesia, tetapi bagi yang tidak suka boleh menolaknya.

Tokoh kelahiran Banjarmasin 1896 ini berpendapat, yang ditetapkan dalam grond rechten (hukum dasar) jangan hanya hak bersidang dan berkumpul saja, tetapi juga hak kemerdekaan bagi drukpers, onschenbaarheid van woorden (media massa cetak, kemerdekaan menyatakan pikiran). Kemerdekaan pers ini perlu sekali sebagai alat untuk sedikit-dikitnya mengurangi kejelekan-kejelekan dari masyarakat.

Anak pedagang kecil dan lulusan Recht Hooge School Jakarta ini menggeluti jurnalistik pada majalah Penimbangan Banjarmasin, surat kabar Tjhoen Tjhioe, mingguan Sao Lim Poo, Sinar Soematra di Padang, Pewarta Soerabaja, Soeara Poeblik, Sin Jit Po / Sin Tit Po (Surabaya), dan Kong Hoa Po (Jakarta).

Liem yang berpendidikan ELS ini mundur dari keanggotaan Badan Penyelidik, 16 Juli 1945, karena merasa berstatus orang asing, sebagai konsekuensi diterimanya Bab IX pasal 26 rancangan Undang Undang Dasar tentang kewarganegaraan Indonesia. Dia meninggal dunia sebagai warga negara Republik Rakyat Tiongkok (1952).

Mr. TAN Eng Hoa

PERANAKAN Tionghoa kelahiran Semarang 1907 yang mengenyam pendidikan Hogere Burger School dan Rechtschool ini perhatiannya pada hak dasar manusia.

Demikian tokoh-tokoh para pendiri bangsa yang kami ulas dalam postingan ini. Semoga dapat memberi manfaat untuk pembaca yang budiman!

____________

*Sumber: Buku "Dinamika Perumusan Dasar Falsafah Negara Republik Indonesia dan Implementasinya

*Penulis: Bambang Setyo Supriyanto & Titin Nurhayati