![]() |
Penyalahgunaan media sosial semakin massif. Para pemangku harus segera mengantisipasinya. Gambar ilustrasi pixabay.com |
Pemerataan internet terus menerus didorong hingga masuk ke peloksok-peloksok negeri.
Tentu saja, terdapat cara pandang yang berbeda dalam merespon dunia baru ini di Indonesia jika dianalisa dari sisi teritori kewilayahan, usia sampai dengan adaptasi.
Ada fakta tak terbantahkan perihal perbedaan cara pandang merespon era digital ini. Apalagi kalau bukan pendidikan dan ketimpangan ekonomi.
Dari sisi teritori misalnya. Kita mafhum bahwa masyarakat Indonesia secara teritori terbagi menjadi masyarakat pedesaan dan perkotaan. Perbedaan ini lahir memiliki akar historis yang panjang didalam kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan satu wilayah A layak menjadi perkotaan sementara wilayah B menjadi pedesaan.
Terjadinya kelas-kelas didalam sebuah wilayah yang disatukan oleh apa yang kita sekarang sebut sebagai Negara memiliki relasi penuh atas ketimpangan yang terjadi baik ekonomi maupun pendidikan antar keduanya.
Kembali pada kajian ruang digital yang memungkinkan sudut pandang penerimaan setiap masyarakat berbeda mengenai era ini, sulit bagi kita untuk menalar tidak akan adanya penyimpangan terhadap teknologi modern ditengah pendidikan kita yang tidak merata ini.
Setidaknya, kekerasan, pelecehan seksual dan penyalahgunaan teknologi yang belakangan marak telah menjadi fakta yang tak terbantahkan efek dari tidak adanya pemerataan pendidikan tersebut.
Dari sisi usia atau generasi juga sama. Terjadi ketimpangan yang tajam merespon era digitalisasi ini antar yang tua dengan generasi sekarang.
Tentu saja, terdapat cara pandang yang berbeda dalam merespon dunia baru ini di Indonesia jika dianalisa dari sisi teritori kewilayahan, usia sampai dengan adaptasi.
Ada fakta tak terbantahkan perihal perbedaan cara pandang merespon era digital ini. Apalagi kalau bukan pendidikan dan ketimpangan ekonomi.
Dari sisi teritori misalnya. Kita mafhum bahwa masyarakat Indonesia secara teritori terbagi menjadi masyarakat pedesaan dan perkotaan. Perbedaan ini lahir memiliki akar historis yang panjang didalam kondisi-kondisi tertentu yang memungkinkan satu wilayah A layak menjadi perkotaan sementara wilayah B menjadi pedesaan.
Terjadinya kelas-kelas didalam sebuah wilayah yang disatukan oleh apa yang kita sekarang sebut sebagai Negara memiliki relasi penuh atas ketimpangan yang terjadi baik ekonomi maupun pendidikan antar keduanya.
Kembali pada kajian ruang digital yang memungkinkan sudut pandang penerimaan setiap masyarakat berbeda mengenai era ini, sulit bagi kita untuk menalar tidak akan adanya penyimpangan terhadap teknologi modern ditengah pendidikan kita yang tidak merata ini.
Setidaknya, kekerasan, pelecehan seksual dan penyalahgunaan teknologi yang belakangan marak telah menjadi fakta yang tak terbantahkan efek dari tidak adanya pemerataan pendidikan tersebut.
Dari sisi usia atau generasi juga sama. Terjadi ketimpangan yang tajam merespon era digitalisasi ini antar yang tua dengan generasi sekarang.
Penyalahgunaan Ruang Digital
Ditengah hiruk pikuk perkembangan digitalisasi yang pesat dengan segala problematikanya, kita diuntungkan dengan era sekarang.
Segala sesuatunya menjadi mudah dan antar manusia satu dengan manusia lain terhubung dengan tanpa jeda, apalagi sejak ada internet dan jaringan yang terus berkembang dari 2G hingga yang mutakhir 5G.
Tidak saja komunikasi, dalam dunia digital juga telah memungkinkan informasi dapat diakses dengan sangat cepat dan segala apa yang diimajinasikan manusia menjadi nyata adanya.
Sekarang, untuk melakukan sesuatu yang mengharuskan dua tiga orang bertatap muka tanpa harus bertemu juga sangat mungkin dilakukan.
Hanya saja, ditengah arus informasi yang tak lagi dapat dikanalisasi, banyak orang terjerumus pada hal-hal yang mengarah pada kontra produktif.
Tidak terhitung jumlah korban hoax dari adanya dunia digital ini yang pada gilirannya menggiring orang untuk melakukan rasisme, kebencian dan intoleransi.
Juga tak sedikit imbas dari digitalisasi ini orang-orang melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan digital dengan telepon pintarnya seperti kekerasan dan pelecehan seksual, terjerumus pada judi online, mengedarkan obat-obat terlarang hingga pembunuhan.
Untuk melihat fakta bahwa kekerasan seksual di ruang digital sangat massif kita bisa melihat data yang dikeluarkan Komnas Perempuan ini.
Dalam catatanya, sepanjang tahun 2019 tercatat 431.471 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dengan beragam bentuk mulai dari perkosaan, pelecehan seksual dan non seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi dan lain sebagainya.
Lebih spesifik lagi, Komnas Perempuan mencatat bentuknya bisa berupa spamming dengan komentar yang tidak pantas di kolom komentar, pelecehan visual dengan pengiriman gambar tidak pantas, hingga pelecehan verbal dengan konten humor bersifat sexual, hingg doxing menyebarkan informasi korban.
Tidak saja issu kekerasan seksual, penyalahgunaan di ruang digital juga telah merusak moralitas generasi muda dengan maraknya judi online dan pengedaran obat-obatan terlarang.
Kasus maraknya penangkapan terhadap para pejudi online belakangan cukup memperkuat bukti ini.
Segala sesuatunya menjadi mudah dan antar manusia satu dengan manusia lain terhubung dengan tanpa jeda, apalagi sejak ada internet dan jaringan yang terus berkembang dari 2G hingga yang mutakhir 5G.
Tidak saja komunikasi, dalam dunia digital juga telah memungkinkan informasi dapat diakses dengan sangat cepat dan segala apa yang diimajinasikan manusia menjadi nyata adanya.
Sekarang, untuk melakukan sesuatu yang mengharuskan dua tiga orang bertatap muka tanpa harus bertemu juga sangat mungkin dilakukan.
Hanya saja, ditengah arus informasi yang tak lagi dapat dikanalisasi, banyak orang terjerumus pada hal-hal yang mengarah pada kontra produktif.
Tidak terhitung jumlah korban hoax dari adanya dunia digital ini yang pada gilirannya menggiring orang untuk melakukan rasisme, kebencian dan intoleransi.
Juga tak sedikit imbas dari digitalisasi ini orang-orang melakukan penyimpangan dan penyalahgunaan digital dengan telepon pintarnya seperti kekerasan dan pelecehan seksual, terjerumus pada judi online, mengedarkan obat-obat terlarang hingga pembunuhan.
Untuk melihat fakta bahwa kekerasan seksual di ruang digital sangat massif kita bisa melihat data yang dikeluarkan Komnas Perempuan ini.
Dalam catatanya, sepanjang tahun 2019 tercatat 431.471 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan dengan beragam bentuk mulai dari perkosaan, pelecehan seksual dan non seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan perkawinan, pemaksaan aborsi dan lain sebagainya.
Lebih spesifik lagi, Komnas Perempuan mencatat bentuknya bisa berupa spamming dengan komentar yang tidak pantas di kolom komentar, pelecehan visual dengan pengiriman gambar tidak pantas, hingga pelecehan verbal dengan konten humor bersifat sexual, hingg doxing menyebarkan informasi korban.
Tidak saja issu kekerasan seksual, penyalahgunaan di ruang digital juga telah merusak moralitas generasi muda dengan maraknya judi online dan pengedaran obat-obatan terlarang.
Kasus maraknya penangkapan terhadap para pejudi online belakangan cukup memperkuat bukti ini.
Pendidikan dan Ketimpangan Ekonomi Jadi Penyebab
Kampanye literasi digital, media sosial untuk hal produktif dan positif, gunakan sosial media secara cerdas dan lain-lain hanyalah menjadi kampanye angin lalu yang tidak akan pernah menjadi solusi bagi rakyat.
Dari analisa dan fakta-fakta dimuka kita bisa melihat, maraknya penyalahgunaan ruang digital terjadi bukan karena tanpa sebab.
Banyaknya masyarakat yang terpapar informasi bohong/hoax yang berujung pada bui lantaran tidak diiringinya pemerataan digital dengan pemerataan kurikulum dan fasilitas pendidikan.
Bukan mengada-ada kalau di era modern ini masih ada wilayah-wilayah tertentu di Indonesia yang tidak terjamah oleh fasilitas pendidikan yang bermutu. Ini yang belakangan kita sebut sebagai wilayah terbelakang.
Di waktu yang sama, pemerataan digitalisasi terus digenjot dan pasar telepon pintar masuk ke peloksok penjuru negeri.
Lalu, bagaimana masyarakat bisa menggunakan teknologi informasi secara cerdas kalau fakta-fakta belakangan tidak pernah diakomodir penyelesaiannya.
Bagaimana dengan masyarakat kota yang akses pendidikannya relatif mudah ketimbang desa-desa tertinggal? Mengapa penyalahgunaan ruang digital juga terjadi di kota-kota?
Selain karena faktor usia, ketimpangan ekonomi menjadi penyebab utama ditengah fashion dan gaya hedonistik memonopoli pemahaman masyarakat perkotaan.
Sehingga, ketika seseorang tidak mampu menopang kebutuhan-kebutuhan hedon dan kesehariannya, mereka rentan menyalahgunakan ruang digital untuk menopang keperluan sehari-hari.
Ketimbang di Desa yang untuk hanya sekedar 'nyambung perut' relatif bisa mudah dipenuhi, kehidupan di kota tidak demikian adanya yang segala sesuatunya serba harus beli.
Sementara di waktu yang sama, dunia kerja tidak cukup untuk menjawab keresahan perut orang-orang di kota. Mereka menemukan kebuntuan. Keadaan yang demikian inilah yang pada gilirannya ruang digital menjadi celah untuk disalahgunakan. Judi online marak. Prostitusi online marak. Pengedaran obat-obat terlarang juga marak.
Dari analisa dan fakta-fakta dimuka kita bisa melihat, maraknya penyalahgunaan ruang digital terjadi bukan karena tanpa sebab.
Banyaknya masyarakat yang terpapar informasi bohong/hoax yang berujung pada bui lantaran tidak diiringinya pemerataan digital dengan pemerataan kurikulum dan fasilitas pendidikan.
Bukan mengada-ada kalau di era modern ini masih ada wilayah-wilayah tertentu di Indonesia yang tidak terjamah oleh fasilitas pendidikan yang bermutu. Ini yang belakangan kita sebut sebagai wilayah terbelakang.
Di waktu yang sama, pemerataan digitalisasi terus digenjot dan pasar telepon pintar masuk ke peloksok penjuru negeri.
Lalu, bagaimana masyarakat bisa menggunakan teknologi informasi secara cerdas kalau fakta-fakta belakangan tidak pernah diakomodir penyelesaiannya.
Bagaimana dengan masyarakat kota yang akses pendidikannya relatif mudah ketimbang desa-desa tertinggal? Mengapa penyalahgunaan ruang digital juga terjadi di kota-kota?
Selain karena faktor usia, ketimpangan ekonomi menjadi penyebab utama ditengah fashion dan gaya hedonistik memonopoli pemahaman masyarakat perkotaan.
Sehingga, ketika seseorang tidak mampu menopang kebutuhan-kebutuhan hedon dan kesehariannya, mereka rentan menyalahgunakan ruang digital untuk menopang keperluan sehari-hari.
Ketimbang di Desa yang untuk hanya sekedar 'nyambung perut' relatif bisa mudah dipenuhi, kehidupan di kota tidak demikian adanya yang segala sesuatunya serba harus beli.
Sementara di waktu yang sama, dunia kerja tidak cukup untuk menjawab keresahan perut orang-orang di kota. Mereka menemukan kebuntuan. Keadaan yang demikian inilah yang pada gilirannya ruang digital menjadi celah untuk disalahgunakan. Judi online marak. Prostitusi online marak. Pengedaran obat-obat terlarang juga marak.
Epilog
Penyalahgunaan ruang digital seharusnya bisa diatasi oleh negara dengan memahami problem pokok yang menjadi penyebab mengapa hal itu terjadi. Itupun kalau negara memang serius menggarap proposal ini.
Tentu saja, risalah pendek ini tidak dimaksudkan menjadi catatan lengkap untuk mengurai satu problem akut perihal penyalahgunaan ruang digital.
Tetapi saya berharap, ini menjadi diskusi permulaan yang dapat digali lebih dalam lagi akar dari masalah yang sedang kita kaji ini.
Sampai saat ini, saya belum melihat keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan yang kadung menjalar dan menjadi tren kejahatan di masa kini ini, masa sosial media memperbudak kehidupan umat manusia.***
Tentu saja, risalah pendek ini tidak dimaksudkan menjadi catatan lengkap untuk mengurai satu problem akut perihal penyalahgunaan ruang digital.
Tetapi saya berharap, ini menjadi diskusi permulaan yang dapat digali lebih dalam lagi akar dari masalah yang sedang kita kaji ini.
Sampai saat ini, saya belum melihat keseriusan pemerintah untuk menyelesaikan persoalan yang kadung menjalar dan menjadi tren kejahatan di masa kini ini, masa sosial media memperbudak kehidupan umat manusia.***
0Comments
Setiap komentar yang disematkan pada artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator