![]() |
Kunci melenting di Pilkada serentak 2024-2029/gambar ilustrasi istock |
Kunci melenting di Pilkada serentak 2024-2029/gambar ilustrasi istock
Perhelatan Pemilihan Kepala Daerah serentak 2024-2029 sebentar lagi akan berlangsung. Seibarat panggung pesta, Pilkada adalah arena meriah nan panas lima tahunan yang digelar untuk mengundang orang dengan nafsu kuasa memuncak.
Bagi orang yang ingin berdansa ria di panggung pesta ini, popularitas, elektabilitas dan program politik populis saja tidak cukup.
Tiga hal ini barangkali nomor kesekian, atau bahkan tidak memiliki arti apapun bagi pedansa senior. Tapi, kalaupun dikau pedansa baru, tapi dengan isi tas berlipat-lipat ganda, semuanya bisa diatur.
Tiket masuk pesta bisa diatur, popularitas bisa diatur, elektabilitas bisa diatur dan semuanya bisa diatur. Tidak masalah tidak memiliki program politik revolusioner, yang penting cek dulu isi tas. Kalau gemuk jadi nih barang.
Jadi, kunci bisa masuk pesta bagi pedansa senior, hanya baru sekedar masuk pesta, harus punya tiga 'tas'; popularitas, elektabilitas, isi tas. Melenting.
Ironi memang! Ditengah kita yang dipinggiran ini terseok-seok kelelahan memikirkan cara bertahan hidup untuk esok, memikirkan supaya negara ini tetap ada dengan terus menerus membayar tagihan pajak, segelintir yang lain kok masih bisa berpesta ria.
Lalu, apa masalahnya, lah wong mereka punya uang kok?.
Jauh kalau kita bicara solidaritas di tengah politik elektoral yang amoral. Untuk apa pula iba dan ngomongin solidaritas ditengah kondisi sosial ekonomi yang sudah senjang sedemikian rupa. Ditengah kesenjangan akut, jangankan rakyat, di lingkaran para elit politiknya saja terjadi segregasi yang tajam.
Ini semua bukan soal wacana itu, dan kami sendiri sudah pesimis sejak dalam pikiran kalau ingin bicara solidaritas. Ini sepenuhnya soal; hajat itu didanai oleh siapa? Hajat itu digelar untuk apa?
Nafsu kuasa setiap orang berbeda-beda bergantung pada niat dan lingkungan. Ada yang berniat memperkaya diri, ini menjadi mental mayoritas calon pemimpin kita. Sebagian kecil yang lain karena niat ingin memanifestasikan cita-cita mulianya menuju keadilan.
Hanya dilematisnya, untuk melenting menuju kursi kekuasaan, kita dihadapkan pada satu pilihan sulit; masuk dalam lingkaran setan yang saya sebut dimuka sebagai 'panggung pesta'. Panggung ini ironi, karena ia konstitusional.
Lalu, dari mana kita harus memulai untuk mengakhiri mentalitet korea (istilah yang dipopulerkan Bambang Pacul) versus mentalitet orang yang mewacakanakan politik kebaikan?
0Comments
Setiap komentar yang disematkan pada artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator