Tutur Tinular: Si Bejat Arya Dwipangga dan Puisi-Puisi Berdarahnya
Tutur Tinular: Si Bejat Arya Dwipangga dan Puisi-Puisi Berdarahnya

GURAUANWARGA - Arya Dwipangga merupakan kakak kandung Arya Kamandanu yang sejak muda berbakat menulis Syair-syair indah dan tajam. Berkat kecakapannya itu, tidak sedikit wanita-wanita yang cantik rupawan tursungkur dan jatuh ke pangkuannya meskipun telah memiliki kekasih.

Bakatnya yang melekat pada diri Arya Dwipangga ini pada gilirannya mengiringi hasratnya untuk mudah meminang wanita yang ia sukai betapapun telah dimiliki orang lain, bahkan adik kandungnya sendiri.

Peristiwa belakangan memang benar terjadi pada 'Penyair Berdarah' ini dengan merenggut kekasih adiknya sendiri, Nari Ratih, bahkan hingga ia hamili. Semula benteng pertahan hati Nari Ratih bak baja yang tidak akan tergerus oleh Syair-syair Dwipangga karena ia telah benar-benar mencintai Kamandanu.

Baca Juga: Kumpulan Kata-Kata Bijak Para Tokoh dari Film Tutur Tinular

Namun apalah daya Nari Ratih, sejak Dwipangga bertandang ke rumahnya untuk meluruskan kesalahpahaman dan konflik asmara antar Kamandanu dan dirinya, justru Dwipangga sendiri kesengsem dengan kembang desa milik adiknya itu dan ingin buru-buru memetik bunga mekarnya.

Pandangan pertama keduanya inilah lantas menjadi jalan mulus bagi Dwipangga untuk merongrong hati batunya Nari Ratih dengan rontal-rontal Syair yang belakangan rajin ia kirimkan.

Jatuhnya Nari Ratih di pangkuan Dwipangga kian tak terbendung manakala keduanya memadu kasih dan hingga akhirnya menikah. Dari pernikahannya dengan Nari Ratih Arya Dwipangga memiliki seorang anak laki-laki yang bernama Panji Ketawang.

Baca Juga: Tutur Tinular: Kisah Asmara Kamandanu dengan 4 Wanita ini Bikin Baper, Begini Lika Likunya

Selang beberapa tahun setelah melewati peristiwa itu, Dwipangga mulai bosan dengan kembang desa yang kian layu itu. Ia pun akhirnya bertemu dengan Mei Shin, dan langsung menebar asmaradana kepada gadis asal China ini. Belakangan ternyata Mesin sendiri juga kekasih adiknya sendiri yang juga sulit untuk ditaklukan hatinya.

Seperti biasa Arya Dwipangga menggunakan syair-syairnya untuk meremukan benteng-benteng yang menjadi tabir hati Mei Shin. Namun kali ini syair-syair Arya Dwipangga tidak cukup mujarrab untuk menaklukan Mei Shin.

Kesal lantaran ajiannya tidak manjur, Dwipangga akhirnya mencari alternatif lain untuk memetik bunga mekar Mesin yang sudah lama dirindukannya itu. Melalui obat perangkang, akhirnya Mei Shin ternodai oleh Dwipangga.

Untuk yang kesekian kalinya, Kamandanu naik pitam menyaksikan perlakuan kakaknya yang bejat itu hingga Dwipangga dihajar habis-habisan oleh Kamandanu hingga tangannya menjadi cacat. Merasa sakit hati, Arya Dwipangga lantas melaporkan Mei Shin kepada pemerintah Kediri, sehingga rumah Empu Hanggareksa diobrak-abrik dan terbakar. Karena tempo lalu Mei Sin memang menjadi buronan pasukan kediri, utamanya Mpu Tongbajil

Baca Juga: Belajar Taktik Pemberontakan Dari Saur Sepuh 'Singgasana Brama Kumbara'

Juga Empu Hanggareksa tewas dalam kejadian itu.
Arya Dwipangga mabuk-mabukan dan menyiksa Nari Ratih hingga tewas. Kamandanu murka untuk kedua kalinya. Arya Dwipangga dihajarnya lagi hingga jatuh ke sumur tua. Di dalam sumur tua itu Arya Dwipangga bertemu dengan seorang laki-laki misterius yang bernama Watukura.

Watukura mengajarkan Arya Dwipangga jurus Kidung Pamungkas dan jurus Pedang Kembar. Setelah beberapa tahun, Arya Dwipangga keluar dari sumur tua itu. Dia menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. Semua orang yang bertemu dengannya pasti mati. Setiap akan melakukan pembunuhan, Arya Dwipangga selalu bersyair, sehingga dia mendapat julukan Pendekar Syair Berdarah.

Arya Dwipangga akhirnya bertemu lagi dengan Kamandanu di desa Kurawan, tempat tinggal mereka dulu. Dan kedua kakak beradik itu bertarung habis-habisan. Namun Arya Dwipangga tidak mampu mengalahkan Arya Kamandanu. Ia akhirnya menyelamatkan diri.

Arya Dwipangga bertemu dengan Empu Lunggah. Seperti biasa nafsu membunuhnya muncul. Namun dia tidak berdaya melawan Empu Lungga, karena Empu Lunggah menggunakan ilmu Rajut Busana, yaitu sebuah ilmu yang dapat menghilangkan kesaktian seseorang. Arya Dwipangga kehilangan kesaktiannya.

Baca Juga: Arya Dwipangga, Si Penyair Berdarah Sang Penakluk Wanita

Jurus Pedang Kembar dan Kidung Pamungkas tidak berarti lagi. Tak lama kemudian mata Arya Dwipangga buta. Hal itu disebabkan karena kutukan seorang pertapa bernama Resi Wisambudi yang telah dibunuhnya.
Arya Dwipangga menyesali semua dosa yang pernah diperbuatnya. Dia ingin bunuh diri, tapi tidak berhasil.

Keadaan Arya Dwipangga tak ubahnya seperti pengemis. Dalam keadaan seperti itulah Arya Dwipangga bertemu kembali dengan Mei Shin yang saat itu tabib terkenal. Awalnya Mei Shin tidak mau membantu Dwipangga, karena hati masih terluka akibat ulah Dwipangga yang telah merusak hidupnya. Namun lama-lama Mei Shin panggang juga pada Arya Dwipangga. Arya Dwipangga akhirnya dibawa ke tempat tinggal Mei Shin.

Dalam Mahkota Mayangkara, yang merupakan lanjutan Tutur Tinular, Arya Dwipangga menikah dengan Mei Shin. Pernikahan itu terjadi karena desakan Ayu Wandira yang menginginkan kedua orangtuanya bersatu. Tentu saja pernikahan itu hanya formalitas saja, karena Mei Shin tetap tidak mau hidup bersama Arya Dwipangga.

Setelah Mei Shin meninggal Arya Dwipangga kembali hidup terlunta-lunta. Namun pada suatu hari Arya Dwipangga bertemu dengan Prabu Jayanegara yang sedang berburu. Prabu Jayanegara tertarik dengan kemampuan Arya Dwipangga bersyair. Akhirnya Arya Dwipangga diangkat menjadi simpanan pujangga di simpanan syair di depan raja. Dia mengganti namanya menjadi Resi Mahasadu.

Daftar Isi

Syair-Syair Berdarah Arya Dwipangga

Syair Duka

Oh betara,
Sudah sulit ku bedakan hidup dan siksa
Setiap nafas dan langkah ku raja derita

Oh betara,
Buka matamu dan saksikan derita ku
Telah kau kalahkan aku dengan tangan perkasamu

Oh betara,
Kini mimpi-mimpiku pun hitam gelap
Segelap bola mata ku
Letih sudah kaki menyelusuri lembah

Tapi,

Perjalanan tidak kunjung usai
Tidak terperih luka
Carut marut oleh onak duri

Oh..
Perih luka ternyata jauh lebih perih jiwa
Gemulung halimun menutup jalan semua jalan
Tapi aku tetap ingin pulang

Dewa,

Kembalikan masa bocahku kedalam jiwa
Jangan peluk akhir perjalananku
Aku masih punya rindu
Yang belum pupus
Jemariku belum lagi menyentuh bayang-bayang mimpi ku

Jagat dewa batara,

Sejuta kutuk pasu ku tadah dengan dada terbuka
Tapi belum juga kau satukan aku dengan anak-anakku

Oh..
Hanya rindu yang meratapi dosa-dosa
Busuk
Satu-satu
Orok dosaku mengering sudah

Satu-satu
Bayangan masa datang terasa benderang

Syair Cinta Kepada Nari Ratih

Pelangi muncul di atas kurawan
Warnanya indah bukan buatan
Seorang gadis ternganga keheranan
Rambutnya tergerai jatuh ke pangkuan
Sekuntum cempaka sedang mekar ditaman sari desa Manguntur

Kelopaknya indah tersenyum segar
Kan kupetik cempaka itu untuk kubawa tidur malam nanti
Ku buka daun jendela dan terbayang malam yang indah di hiasi chandra kartika

Di bulan Waisya ini
Sepuluh kali aku melewati pintu rumahmu yang masih rapat terkancing dari dalam
Kapan kubuka
Wahai sang dewi puspa

Pelangi itu muncul lagi
Membuat garis melengkung ke langit tinggi
Daun ilalang diterpa angin gemerisik membangunkan tidurku dari mimpi buruk
Di batas tugu yang indah ini ku pahat dengan bermandikan keringat kasih

Kalau kau tatap mega yang berbunga-bunga
Di sanalah aku duduk menunggu pintu maafmu terbuka
Pelangi senja mengantarkan burung-burung pulang ke sarangnya
Domba-domba pulang ke kandangnya

Tapi aku hendak ke mana
Apa yang kulakukan menjadi tak berharga
Selama senyummu masih kau sembunyikan di balik keangkuhan hatimu

Nari Ratih…

Kau adalah sebongkah batu karang
Tapi aku adalah angin yang sabar setia
Sampai langit di atas terbelah dua
Aku akan membelai namamu bagaikan bunga
Jika hari telah tidur di pangkuan malam

Kukirim bisikan hatiku ini bersama angin
Biarpun malam pucat kedinginan
Biarpun bintang merintih di langit yang jauh
Aku akan tidur dengan tenang

Sambil memeluk senyummu dalam kehangatan mimpiku
Aku berkelana mencari cinta ke desa-desa yang jauh
Akhirnya di candi walandit kupuaskan dahagaku

Ajian Kidung Pamungkas

Ketika kata-kata
Sudah tidak bisa menjawab tanya
Maka bahasa pedanglah yang bicara

Bahasa para ksatria
Bahwa bumi menuntut sesaji darah manusia
Pedang
Taring betara kala sedang di amuk murka
Amarahnya menelan rembulan jadi gerhana

Bumi
Gelap pekat menangis air mata merah
Gemerlap kilat pedang menusuk dunia
Darah mengalir dari ujung pedang kekuasaan
Tergelar dari ujung pedang
Sebagaimana derita juga tergelar dari ujung yang sama

Syair Berdarah

berjalan mengikuti hembusan angin
menapak di sunyinya alur kehidupan
bait demi bait terfatwa mematikan
menusuk dalam jantung kehidupan

merampas hatimu dengan serakah
ku mainkan nada-nada asmara
untuk mengoyak suci menjadi lara
ku renggut paksa indahnya anganmu

wahai …wanita terlentanglah pasrah
sambut birahiku seribu kutuk
ku desah pelan syair-syair berdarah
merona merah merenda kata

semilir api menyentuh menyungkup
membanjiri tubuhmu beriak membara
mengelora panas dalam gejolak
aku pendekar syair berdarah

setiap desah adalah pujangga
hembusan angin adalah iramaku
menyebar mutiara sang kata cinta
syair berdarah melumat hawa

Pendekar syair berdarah
ku berjalan terseok tanpa arah
melantunkan indah nada nada prahara
merenggut paksa insan bercinta

kutebas murka pedang berdarah
memutus kasih luka kecewa
syair berdarah menyebar angkara
aku tak percaya dengan cinta

sudah kucari ke pelosok dunia
tapi cinta tak punya rasa
hanya bergumul nafsu gairah
takkala cinta dua manusia

menyatu peluh raungan manja
Aku kau usir pergi saat masih ingin menyusuri padang hatimu
Kini biarkanlah jalanku berlinang darah
rembulan memapahku perlahan menuju maut abadi…

“Aku datang dari balik kabut hitam
Aku mengarungi samudera darah
Akulah pangeran kegelapan
Kan kuremas matahari di telapak tanganku
Kan kupecahkan wajah rembulan, pecah terbelah

Dengan Kidung Pamungkas

Kan kubuat dunia berwarna merah…!”
“Kematian adalah kidung indah dalam hidupku
kematian tercium dari ujung ujung pedangku
kubeberkan dosa pada setiap tetes darahku

sembari kusiramkan api neraka
ke sekujur tubuhmu…”
“Akan kulumuri wajahmu dengan darah
manusia yang paling terkutuk
kematian didalam nafasku

kematian di ujung ujung pedangku
kata membuat mantra
mantra menyusun daya
daya mantraku
mengunci semua daya

daya mantraku
menyerang pikiran manusia
kiduuuung pamungkaaaaas…!”
“Kepalsuan selalu menipu bumi
yang lembut dan jujur

topeng topeng putih yang semuci suci
selalu laris terjual di pasar pasar
di warung warung
karna terlalu banyak manusia busuK
ingin menutupi kebusukannya

aku datang dari balik kabut merah
terbang melintasi samudra darah
akan ku pecah wajah rembulan malam
akan kubuat isi alam menjadi kelam
akulah pangeran kegelapan
kidung pamungkas !

Sendiri

Malam sang penjaga kalutku
Bukan kuata rindu kugelut
Lain rasa pada wajah seraut
Masih sendiri kembara derita memagut

Mendebar semesta hati rengut
Kugambar wajahmu pada lembar rerumput
Angin mendera gelap rasa ia rebut
Tuntas kalut, gemelut, jiwamu jiwamu…

Sedih kudilayangi layang wajahmu
Ingin sauh kulempar jauh
Lembing lengking
Lenyap musnah dalam persinggahan maut

Apa daya kubenam segala rasa
Dalam gelora lautan darah
Kuturuti hanyut gelora
Nada.. sebersit kata..

Sendiri
Berbisik rinduku berisik
“Matilah kau Mar..”

Lenguh

Menari
Malam nanti rembulan kelabu
Duka menyelimuti kakiku
Linang darah, luka perpisahan
Kabut tebal suara malam

Debur.. Deru..

Alam semesta kutuklah cintaku
Terus kutuk sampai kau puas mengutuk
Ingin kususuri lagi rimbun rambutmu
Dengan dengus rinduku
Ingin kuhirup lagi sepoi
Semerbak wangi pori-porimu

Maharani
Cleopatra
Nariratih
Subadra
Darah ini masih mendebur
Gairah mengguntur
Sampai angkara hancur lebur

Cinta.. cinta..

padamu tak kunjung hancur
Masih kusimpan sisa desahmu
Lenguhmu

Dendam Abadi

Jangan ada suara kalau syairku sedang bicara
Karena suaraku ingin memutar balik cakra dunia
Kenapa orang bijak bicara dengan jumawa
Tidak ada yang abadi di dunia ini

Kecuali ketidakabadian itu sendiri
Padahal duka hidupku abadi
Luka hatiku abadi
Pagi mengusir malam
Siang menghardik embun
Dan malam menelan matahari juga abadi
Dari waktu ke waktu

Sampai ratusan abad sejak alam mayapada
Digelar para dewa
Dendamku pada Kamandanu juga abadi
Begitu juga dendamku pada nasib juga abadi

oooh…

Akan kutebar gelembung dendam rahwana
Menyebar ke seluruh mayapada
Menutup kayangan di puncak Mahameru