Dalam buku saku yang disunting Detmar Deoring yang memuat artikel-artikel para pelopor Liberalisme, termasuk didalamnya John Locke, disebut bahwa selain ia menggagas 'Kontrak Sosial' yang fenomenal itu, Locke juga dikenal sebagai pelopor toleransi keagamaan pada masanya ditengah membicarakan 'kebebasan' sangatlah tabu, apalagi mengenai kebebasan beragama.
Bersama Isaac Newton, Locke menjadi figur terpenting di era pencerahan, karena berkat gagasan politiknya itu ia mampu mendongkrak cara berfikir lama yang dihegemoni oleh kekuasaan Feodalisme yang kaku dan serba indoktrinasi. Locke menandai lahirnya era modern setelah Descartes.
Dalam ulasan ini, saya akan mengeksplorasi kembali gagasan Locke melalui artikelnya yang telah tersebar luas mengenai toleransi dimana masa Locke hidup, toleransi hanya menjadi suatu pengecualian.
***
Suatu bangsa tampak bagi saya sebagai sebuah masyarakat manusia yang terbentuk hanya untuk mendapatkan, memelihara, dan memajukan kepentingan-kepentingan sipil mereka sendiri. Kepentingan sipil yang saya maksud adalah hidup, kebebasan, kesehatan, dan kenikmatan badani; dan kepemilikan hal-hal yang terlihat, seperti uang, tanah, rumah, perlengkapan, dan sejenisnya.
Merupakan kewajiban hakim sipil, dengan pelaksanaan hukum yang setara dan tak memihak, untuk melindungi, bagi orang-orang pada umumnya—dan setiap warganya khususnya—kepemilikan yang adil atas hal-hal yang menjadi milik hidup ini. Jika siapa pun lancang melanggar undang-undang keadilan dan kesetaraan publik itu, yang ditetapkan untuk melindungi hal-hal tersebut, kelancangannya akan diperiksa dengan ancaman hukuman, yang berupa pencabutan atau pengurangan kepentingan-kepentingan atau barang-barang sipil tersebut, yang seharusnya bisa ia nikmati.
Baca Juga: Liberalisme: Filosofi, Tujuan dan Relasinya dengan Kapitalisme (Bagian Ke-I)
Namun melihat tak seorang pun yang bersedia menyiksa dirinya untuk dihukum dengan pencabutan atas sebagian dari barang-barangnya, apalagi atas kebebasan atau hidupnya, maka karena itulah sang hakim dibekali dengan paksaan dan kekuatan atas semua warganya, untuk menghukum mereka yang melanggar hak-hak manusia yang lain.
Kini keseluruhan yurisdiksi hakim tersebut hanya menjangkau soal-soal sipil ini; dan semua kekuasaan, hak, dan wilayah sipil terbatas hanya pada perhatian untuk memajukan hal-hal ini; dan ia tidak bisa atau tidak seharusnya diperluas pada penyelamatan jiwa dengan cara apa pun; pertimbangan-pertimbangan berikut ini bagi saya perlu diperlihatkan.
Pertama, karena perhatian pada jiwa tidak dipercayakan pada hakim sipil tersebut, juga kepada manusia-manusia lain. Menurut saya, hal itu tidak dipercayakan padanya oleh Tuhan; karena tampaknya Tuhan tidak pernah memberikan otoritas seperti itu pada satu manusia atas manusia yang lain, untuk memaksa siapa pun pada agamanya.
Kekuasaan tersebut juga tidak dapat dianugerahkan kepada sang hakim dengan persetujuan rakyat; karena tak satu pun orang yang sejauh ini bisa mengabaikan perhatian atas keselamatannya sendiri secara buta dan menyerahkannya pada pilihan orang lain, apakah pangeran atau warga, dan membiarkan orang lain itu memilihkan keyakinan atau ibadah apa yang harus ia peluk atau jalankan. Karena tak seorang pun bisa, jika ia mau, menyesuaikan keyakinannya dengan perintah-perintah orang lain.
Semua kehidupan dan kekuatan agama sejati mengandung keyakinan pikiran yang penuh dan pribadi; dan kepercayaan bukanlah kepercayaan tanpa meyakini. Keyakinan apa pun yang kita buat, pemujaan terhadap apa pun yang kita ikuti, jika pikiran kita sendiri tidak sepenuhnya puas dan yakin bahwa yang satu itu sejati, dan yang lain menyenangkan Tuhan, keyakinan dan praktik itu jelas merupakan rintangan besar bagi penyelamatan kita. Karena dengan cara ini, alih alih memperbaiki dosa-dosa lain dengan menjalankan agama, kita menambah jumlah dosa-dosa lain kita, dosa-dosa yang mencakup kemunafikan dan penghinaan atas Keagungan Ilahiahnya.
Kedua. Perhatian terhadap jiwa tidak bisa dipercayakan kepada hakim sipil, karena kekuasaannya hanya menyangkut kekuatan yang kasat-mata: namun agama yang sejati dan menyelamatkan mengandung keyakinan pikiran yang bersifat pribadi, yang tanpanya tak ada hal yang bisa diterima Tuhan. Dan itulah sifat dasar pemahaman, yakni bahwa ia tidak dapat dipaksa untuk meyakini apa pun dengan paksaan/kekuatan fisik. Penyitaan tanah, pemenjaraan, penyiksaan, tak ada satu pun dari hal itu yang memiliki daya untuk menjadikan manusia mengubah penilaian pribadi yang telah mereka lekatkan pada hal-ihwal.
Baca Juga: Liberalisme: Filosofi, Tujuan dan Relasinya dengan Kapitalisme (Bagian Ke-II)
Terakhir. Sekarang mari kita pikirkan apa kewajiban sang hakim dalam masalah toleransi, yang jelas sangat besar. Kita telah buktikan bahwa perhatian pada jiwa bukan merupakan wilayah hakim: wilayah hakim terdiri dari memutuskan dengan hukum, dan memaksa dengan hukuman.
Namun perhatian yang tulus, yang terdiri atas ajaran, peringatan, dan bujukan, tidak bisa dicabut dari siapa pun. Karena itu perhatian terhadap jiwa setiap orang adalah milik dirinya sendiri, dan terserah pada dirinya sendiri. Namun bagaimana jika ia mengabaikan perhatian terhadap jiwanya?
Saya jawab, bagaimana jika ia mengabaikan perhatian terhadap kesehatannya, atau tanahnya, hal-hal yang mana yang lebih dekat hubungannya dengan kekuasaan sang hakim dibanding yang lain?
Akankah sang hakim membuat suatu hukum cepat, bahwa orang seperti itu tidak boleh menjadi miskin atau sakit? Hukum menetapkan, sejauh mungkin, bahwa barang-barang dan kesehatan warga tidak boleh dicederai oleh penipuan dan kekerasan orang lain; namun hukum tidak melindungi mereka dari pengabaian atau kelalaian para pemiliknya sendiri.
Tak seorang pun bisa dipaksa untuk menjadi kaya atau sehat, entah dia menginginkannya atau tidak. Selain itu, Tuhan sendiri tidak akan merintangi orang-orang terhadap kehendak-kehendaknya.
Mari kita bayangkan, bahwa beberapa pangeran sangat ingin memaksa warganya untuk mengumpulkan kekayaan, atau memelihara kesehatan dan kekuatan tubuh mereka. Haruskah hal itu ditetapkan oleh hukum, bahwa mereka tidak bisa tidak harus berkonsultasi dengan dokter Roma, dan haruskah setiap orang diwajibkan untuk hidup berdasarkan nasihat mereka?
Baca Juga: Animisme Dhinamisme Bukan Kepercayaan Leluhur. Tinjauan Kritis Mengenai Kepercayaan Bangsa Indonesia
Tidak boleh ada minuman, sup, kecuali apa yang disiapkan, misalnya, di Vatikan atau di sebuah toko Geneva? Atau untuk menjadikan para warga ini kaya, haruskah mereka semua diwajibkan oleh hukum untuk menjadi pedagang, atau musisi? Atau haruskah setiap orang menjadi pembuat makanan, atau pandai besi, karena ada orang-orang yang mencukupi keluarga mereka dan menjadi kaya dengan pekerjaan-pekerjaan itu? Namun mungkin saja dikatakan, ada seribu cara menuju kekayaan, tapi hanya satu jalan menuju surga.
Memang hal ini dikemukakan dengan baik, khususnya oleh mereka yang membuat dalih untuk memaksa orang-orang ke jalan ini atau yang lain; karena jika ada beberapa jalan yang menuju ke sana, tidak akan ada dalih kepurapuraan untuk melakukan paksaan.
Namun, jika saya berjalan dengan sepenuh kekuatan, di jalan yang, menurut geografi sakral, langsung menuju Jerusalem; mengapa saya dipukuli dan diperlakukan buruk oleh orang lain, karena, misalnya, saya tidak memakai buskin; karena rambut saya tidak dalam potongan yang tepat; karena, katakanlah, saya tidak berpakaian dalam cara yang benar; karena saya makan daging di jalanan, atau makanan lain yang cocok dengan perut saya; karena saya menghindari jalan-jalan kecil tertentu, yang bagi saya tampak mengarah ke semak-semak atau tebing yang curam; karena, di antara beberapa gang yang ada di jalan yang sama, saya memilih untuk berjalan di gang yang tampak paling lurus dan bersih; karena saya menghindar untuk tetap terus bersama dengan beberapa pejalan yang kurang alim, dan orangorang lain yang lebih tak menyenangkan; atau karena saya mengikuti seorang pemandu yang berpakaian atau tidak berpakaian putih dan mengenakan topi uskup?
Jelas, jika kita pertimbangkan dengan benar, kita akan menemukan bahwa sebagian besar dari hal-hal ini adalah hal-hal remeh-temeh yang, tanpa suatu prasangka terhadap agama atau penyelamatan jiwa, jika tidak disertai oleh takhayul atau kemunafikan, mungkin terlihat atau terabaikan; saya katakan, hal-hal seperti ini memunculkan kebencian kuat di antara orang-orang Kristen, yang semuanya setuju pada bagian agama yang substansial dan benar-benar mendasar.
Baca Juga: Sejarah Majapahit, Padjajaran dan Madura Tidak Ditaklukan, Berikut Penjelasannya
Namun mari kita sampaikan pada orang-orang fanatik ini, yang mengutuk semua hal yang tidak sama dengan cara mereka, bahwa dari keadaan-keadaan tersebut muncul tujuan-tujuan yang berbeda. Dengan demikian apa yang seharusnya kita simpulkan?
Hanya ada satu dari semua ini yang merupakan jalan sejati menuju kebahagiaan abadi. Namun, dalam keberagaman cara yang dijalani manusia ini, masih diragukan mana yang merupakan yang-satu itu.
Kini, baik perhatian dari negara, atau hak memberlakukan hukum, tidak dapat menemukan jalan menuju surga ini secara lebih pasti dibanding pencarian dan studi setiap manusia biasa untuk menemukannya bagi dirinya sendiri.
Saya memiliki badan yang lemah, tenggelam dalam penyakit yang merapuhkan; terhadap penyakit ini, saya anggap hanya ada satu obat, namun yang tak diketahui: apakah dengan demikian merupakan hak hakim untuk menentukan obat bagi saya, karena hanya ada satu obat, dan karena ia tak diketahui?
Karena hanya ada satu jalan bagi saya untuk lolos dari maut, akankah aman bagi saya untuk melakukan apa pun yang dititahkan oleh sang hakim? Hal-hal yang seharusnya dicari dengan tulus oleh setiap manusia ke dalam dirinya sendiri, dan bisa diketahui melalui perenungan, studi, pencarian, dan usaha-usahanya sendiri, tidak boleh dianggap sebagai hak-milik khusus satu orang belaka, siapa pun dia.
Para pangeran memang lahir lebih superior dibanding orang-orang lain dalam hal kekuatan, namun mereka pada dasarnya setara. Hak dan seni memerintah tidak niscaya mengandung pengetahuan tertentu tentang hal-hal lain; tentang agama yang sejati; karena jika demikian, bagaimana bisa terjadi bahwa para pangeran di bumi begitu berbeda dalam masalah-masalah keagamaan?
*John Locke, Ein Brief uber Toleranz (A Letter Concerning Toleration), ed. J. Ebbringhaus, Hamburg 1957, hal. 12-14, 42-46.
Dapatkan versi PDFnya dibawah ini:
Demo Download
0Comments
Setiap komentar yang disematkan pada artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator