Tangkapan layar film alangkah lucunya negeri ini
Tangkapan layar film alangkah lucunya negeri ini

Kita masih bersepakat dan mempercayai bahwa pendidikan merupakan salah satu instrumen terpenting dalam sebuah Negara. Sementara ini mereka yang menyadari akan pentingnya hal tersebut akan lebih mengutamakan sektor pendidikan dibandingkan dengan sektor-sektor lain. 

Kita coba gambarkan sistem Pendidikan Finlandia misalnya, dari mulai tenaga Pendidik (Guru), mereka disana lebih diistimewakan dan menjadi sebuah profesi yang lebih terhormat dibandingkan dengan profesi-profesi lain.

Untuk menjadi tenaga pendidik, mereka harus memenuhi persyaratan-persyaratan dan besik yang mumpuni dibidangnya, dan harus menempuh pendidikan seminimalnya sampai Strata 2 (S2), Wajar mereka diistimewakan dan dihormati. Bahkan sebagian dari kelas pekerja, penghasilan mereka dengan suka rela membiarkan dipotong untuk meningkatkan kesejahteraan para Tenaga Pendidik tersebut.

Sistem dalam proses belajar mengajar yang diterapkan disana tidak ditentukan dan diatur secara tertib dan merata oleh pusat secara Nasional. Setiap Siswa diberikan kebebebasan untuk mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya sendiri seluas-luasnya. Dan guru tidak memaksa mereka untuk selalu ikut dalam kehendak dan pemahaman yang disampaikan. Akhirnya siswa mampu berkembang dengan baik dan signifikan.

Karena Siswa selalu fokus dengan apa yan ia minati dan senangi dalam setiap pertemuan pembelajaran. Dan uniknya, tempat proses belajar mengakar secara formal tidak menjadi ukuran untuk mereka, bahkan cenderung melakukan hal tersebut didalam ruang-ruang terbuka. 

Ketika hendak lulus, sistem ujian tidak menjadi prasyarat yang penting yang harus dilalui oleh setiap siswa. Dan ijazah sebagai bukti konkret atas legalitas siswa yang sudah lulus, tidak pula menjadi kertas yang teramat penting seperti yang terjadi di Negara-negara lain seperti Indonesia misalnya.

Beda halnya dengan di Negeri kita, setidaknya film “Alangkah Lucunya Negeri Ini” telah banyak mewakili secara objektif tentang bagaimana tidak baiknya sistem pendidikan di kita. Negara terlalu bebas membiarkan gedung-gedung Pendidikan (Sekolah atau Kampus) berdiri dengan amat banyaknya tanpa perhitungan yang rasional. 

Dalam satu Desa di Indonesia kita bahkan bisa temukan dua atau bahkan sampai empat gedung pendidikan secara berdampingan berdiri baik swasta ataupun berbasis Negeri.

Gejala demikianlah yang membuat anak-anak bangsa kita menjadi pengangguran setelah mereka lulus dari sekolah atau kampus karena lapangan kerja yang tidak memadai. Pemerintah tidak mampu mengukur sebanyak apa lapangan kerja yang bisa dimasuki oleh para lulusan sekolah dan sarjana-sarjana tersebut, yang terjadi kemudian ketidak seimbnagan antara sedikitnya lapangan pekerjaan dan gedung-gedung pendidikan yang terlalu berserakan. 

Seharusnya pemerintah mampu menyesuaikan antara pendidikan dan lapangan pekerjaan. Dengan demikian lulusan-lulusan dari Dunia Pendidikan mampu dipekerjakan dengan baik.

Pembicaraan tentang orientasi lapangan pekerjaan bagi lulusan-lulusan Pendidikan saya kita terlalu jauh, karena kondisi objektifnya pemerintah tidak mampu menciptakan lapangan pekerjaan secara Berdikari untuk anak-anak bangsanya. 

Setidaknya dari sekian banyak lembaga Pendidikan Pemerintah seharusnya mampu memberi pendidikan layak untuk semua anak bangsa.

Anak-anak dibawah umur yang berperan sebagai anak jalanan yang tidak pernah menyentuh dunia pendidikan di dalam film tersebut itu menang terjadi sampai saat ini di dalam Negeri kita. Banyaknya anak-anak di bawah umur mereka harus berserakan dijalan-jalanan meminta-minta, ngamen dan atau sekedar main- main sampai larut malam menjadi bukti yang realistis bahwa Pendidikan di Indonesia belum merata secara sepenuhnya. 

Padahal Konstitusi mengamanatkan untuk Bangsa agar mereka dicerdaskan tanpa pilih kasih dan kelayakan hidupnya di jamin oleh Negara




Tulisan ini sebelumnya pernah dimuat pada 19 September 2018 di Sosialis Demokratik