Empat tahun silam, tepatnya hari Senin, 11 Oktober 2017, kami membuat sebuah acara di kampus untuk membicarakan peristiwa G30S yang untuk momentumnya sendiri sebetulnya telah lewat satu pekan lebih. Di tahun itu, saya beranjak semester lima duduk di bangku kuliah. Memang, dimasa ini biasanya Mahasiswa sedang berada dipuncak produktifnya untuk melakukan sesuatu dan selalu merasa haus akan pengetahuan. Sehingga model bacaan seperti apapun, bahkan yang bersilang tajam dengan negara akan dilahap habis untuk dibaca. Dan tentu saja saya mengalami itu, sedang gandrung membaca buku sejarah yang berkutat di peristiwa 65 dan buku-buku teologi Islam.
Seperti kebiasaan masyarakat Indonesia di seluruh tanah air, setiap memasuki bulan Oktober isu PKI [baik yang berkenaan dengan peristiwa masa lalu dan analisa provokatif pihak tertentu akan kebangkitannya di hari depan] terus mengalir menghiasi bulan ini. Memang, bulan oktober selalu berkonotasi menyeramkan, keji, menakutkan, brutal dan tidak manusiawi. Lebel-lebel ini dibuat untuk mempropaganda rakyat terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) yang dinilai terlibat penuh atas penculikan enam Jendral satu Perwira di malam berdarah 1 Oktober 65. Ketujuhnya antara lain:
- Jenderal TNI (Anumerta) Achmad Yani
- Letjen (Anumerta) Suprapto
- Mayjen (Anumerta) MT Haryono
- Letjen (Anumerta) Siswondo Parman
- Mayjen (Anumerta) DI Pandjaitan
- Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomihardjo
- Letnan Satu Corps Zeni (Anumerta) Pierre Andreas Tendean.
Sekedar informasi tambahan, dalam laporan yang dirilis Central Intelligence Agency (CIA) bertajuk The President's Daily Brief tahun 1965 yang dapat diakses publik melalui situs resminya disebutkan, target operasi penculikan itu sebetulnya berjumlah delapan orang. Namun satu orang ini selamat dari insiden penculikan yakni: Brigjen Ahmad Sukendro. Konon, saat peristiwa meletus, Sukendro sedang melakukan dinas luar ke Baijing, China. Dan ia merupakan salah satu Jendral yang cukup dekat dengan CIA.
Cukup mudah memfantasikan malam tragis di tahun dimana peristiwa ini terjadi. Anda cukup membuka film-film dokumenter Genosida 65 secara holistik dan buku-buku sejarah yang menyorot peristiwa ini secara kritis. Atau jika lebih mampu memahami peristiwa melalui Puisi, anda bisa mendengarkan "Mata Luka Sengkon Karta" yang sering dibacakan oleh Peri Sandi dalam sejumlah pentas seninya.
Diintelin Koppasus
Tamu undangan dari lintas organisasi sudah ramai memadati kursi yang disediakan panitia, pemateri juga sudah hadir di tempat. Acara memang akan segera di mulai. Dan kebetulan saya sendiri yang akan memandu jalannya acara diskusi siang itu bersama dua kawan sebagai pemantiknya. Cukup pede memang, dan waktu itu memang saya baru saja menghatamkan "Kitab Merah" yang tebal halamannya mencapai 879 lembar. Yang lebih gila bukan di soal itu sebetulnya, tapi keberanian kita untuk terang-terangan membicarakan peristiwa 65 ditengah hampir semua orang ngobrolinnya cuman bisik-bisik.
Alhasil, berkat tetap melanjutkan acara, diskusinya sih lancar, tapi situasinya jadi mencekam setelah:
- Tentara berpakaian dinas mondar mandir kampus menggunakan motor seolah-olah sedang unjuk gigi menunjukkan eksistensinya kepada kami untuk menekan sikologis. Juga banyak sekali intel di belakang forum yang menyimak kata demi kata dari setiap ucapan narasumber.
- Pamflet yang kami unggah ke sosial media ramai diperbincangkan dengan narasi negatif seolah-olah kami bagian dari Partai P, padahal gak sama sekali memiliki irisan baik secara biologis maupun ideologis.
- Pasca acara, kami mendapat intimidasi tidak langsung dengan adanya desas desus dicariin tentara. 4. Pasca acara juga, stigma negatif pun mengalir deras terhadap komite aksi kami dari berbagai pihak, bahkan hingga sekarang ini.
Tabu Bicara PKI, Bahkan di Ruang Akademis
2017 bukanlah tahun yang baru untuk kita bicara secara bebas tentang berbagai peristiwa yang pernah terjadi. Bahkan jika kita hitung sejak dari reformasi--dimana, konon reformasi ini simbol kebebasan sipil untuk mengutarakan pendapat di muka umum secara terbuka-- sudah berjarak cukup jauh untuk move on dari masa lalu kelamnya. Tapi beginilah keadaannya. Hal-hal yang berkenaan dengan peristiwa besar dimana didalamnya melibatkan institusi tertinggi [Negara], rasanya sulit sekali untuk diclearkan hanya karena persoalan aib dan alibi ketakutan membuka luka lama. Padahal justru kuncinya ada di bagian ini.
Buktinya, akibat tidak pernah terjadi rekonsiliasi dan maaf memaafkan antar sesama warga negara dan warga negara dengan negara, tiap tahun issu kebangkitan P ini terus bergulir dan dipelihara terus menerus. Dan lagi lagi, narasi sepihak memojokkan pihak tertentu terus terjadi, padahal rentan waktunya dengan peristiwa 65 telah terlampau jauh. Jadi, jika kita hendak menguji kembali seberapa besar kapasitas reformasi membuka kebebasan sipil, nyata-nyata masih sangat rapuh sekali diterpa oleh oleh ilusi badai oktober di tahun-tahun pasca peristiwa itu.
Padahal, dengan dibukanya ruang-ruang dialog, apalagi di lingkungan akademis, disitulah sejarah diuji keabsahannya. Bukan malah ngasih stigma PKI terhadap mahasiswa atau organisasi yang sedang membincangkan peristiwa ini. Lagipula, seperti yang disebut dimuka, orang yang hidup di generasi sekarang, kemudian membicarakan peristiwa masa lalu yang terjadi di dalam negerinya sendiri [dalam konteks ini PKI misalnya], bukan berarti kita kader juga kan.
Memang betul, ajaran Marxisme (ideologi PKI) itu bagi siapa siapa saja yang membacanya seketika ia akan jatuh cinta. Dan untuk menggambarkan kesan apa sehingga cinta itu tumbuh, saya sendiri yang mempelajarinya tidak pernah mengerti. Singkatnya, pasca membaca buku-buku tersebut [dalam bahasa pemerintah: buku merah], kita akan cinta terhadap kelas tertindas. Dan itu pula yang digambarkan oleh anak pimpinan tertinggi PKI Ilham Aidit beberapa waktu lalu di sebuah acara televisi swasta.
0Comments
Setiap komentar yang disematkan pada artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator