![]() |
*peserta diskusi . |
Akhir-akhir ini situasi Ekonomi Nasional dan naiknya Dollar menjadi pembicaraan yang hangat di jagad Indonesia. Tidak hanya kaum elite, masyarakat-masyarakat kecil tongkrongan mereka diisi dengan obrolan-obrolan yang sama. Tentu semua kalangan was-was dan khawatir sewaktu-waktu dollar ini merangkak naik secara perlahan, akan berimbas pada melemahnya nilai tukar Rupiah yang akan anjlok dan kemudian Indonesia akan krisis moneter seperti tahun tahun sebelumnya. Sementara ini, imbas dollar yang merangkak naik telah membuat beberapa Negara sekarat dan krisis yang tidak bisa disangkal. Sebut saja Venezuela dan Turki misalnya, dua Negara yang terkena imbas tersebut.
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Negara-negara berkembang. Di Indonesia sendiri berbagai strategi dan kebijakan mulai diatur untuk menangkal berbagai dampak yang tidak pernah diharapkan oleh semua kalangan bangsa. Mulai dari mengatur kebijakan impor ekspor, Ekonomi pasar dan lain sebagainya.
Kemudian berbagai mitos pun mulai bermunculan dan kait mengaitkan dengan hitungan -hitungan tahun. Namun pada dasarnya semua orang merasakan kekhawatiran yang mendalam tentang dampak ini.
Sejumlah aksi-aksi massa mulai digelar di beberapa daerah oleh para Mahasiswa untuk mengkritisi Pemerintah agar sebisa mungkin menangkal krisis yang mulai terjadi. Dialog-dialog mulai dibuka di berbagai tempat yang di selenggarakan Mahasiswa dan lembaga-lembaga lain untuk mendiskusikan situasi tersebut. Kondisi tersebut dalam keadaan tertentu kadang kala dijadikan sebagai kesempatan alat politik untuk menjatuhkan lawan-lawannya. Karena harus kita akui ditengah situasi dan kondisi yang menghawatirkan, tahun-tahun politik sekarang turut membersamai kondisi seperti ini.
Namun pada dasarnya krisis tersebut tidak pernah dihendaki oleh siapapun termasuk oleh bangsa-bangsa. Sementara banyak analisis pakar mengatakan krisis tersebut betul betul akan terjadi dan berkepanjangan di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Bahkan disalah satu forum, salah satu pakar dari INDEF mengatakan, pergantian kekuasaan tidak berpengaruh dan merubah kondisi ekonomi nasional yang akhir-akhir ini menghawatirkan.
Kondisi Perekonomian Indonesia mutahir, Suatu kajian Mendalam Dari Aktivis dan Pakar Ekonom.
Siang tadi penyelenggaraan Dialog Publik telah sukses digelar. Hadir bersama kami dua Narasumber yang luar biasa walaupun mereka tidak duduk dalam satu panggung diskusi karena ada keperluan lain yang mendesak. Achmad Herwandi seorang aktivis PRD yang kebetulan telah sejak lama dekat dengan kami, dan Bhima Yudhistira, Pakar Ekonomi muda dari INDEF.
Karena tidak bertemu dalam satu panggung Diskusi, Narasumber pertama kami banyak bicara soal Politik yang begitu mendominasi kebijakan Ekonomi. Memang tidak dipungkiri, bahkan semua mafhum, dalam tahun-tahun Politik seperti sekarang, issue utang mencuat kepermukaan dan menjadi tranding Topik yang tidak henti-hentinya dibicarakan. Politik Utang telah menghantarkan Perekonomian Nasional pada taraf yang terburuk dari sebelum-sebelumnya dan telah menghambat pertumbuhan Ekonomi Indonesia.
Dalam krisis tersebut, Narasumber pertama Achmad Herwandi menawarkan solusi yang dahulu pernah juga ditawarkan atau digagas dan digali oleh Bung Karno yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Karena pada praktiknya, amanat para pendiri bangsa tentang harusnya pemerataan kesejahteraan tanpa pilih kasih dan pandang bulu tidak pernah terwujud seperti yang diinginkan oleh Pemimpin Besar Revolusi kita. Yang ada hanyalah praktik Kapitalisme dan Ekonomi bebas yang akhirnya menimbulkan kesenjangan yang tiada tara, karena praktik ini telah menciptakan kondisi masyarakat yang berkarakter Individualis dan Borjuasi yang kemudian memeras dan merampas harkat dan martabat manusia. Untuk mewujudkan perekonomian yang adil makmur, solusi terbaiknya ialah Indonesia harus berganti haluan Ekonomi dan mengimplementasikan konstitusi dengan sebaik baiknya.
Tentang Ekonomi Pancasila yang digaungkan oleh penguasa pada dasarnya tidak lebih sebatas Indoktrinasi dan kampanye politik yang tiada guna. Sejak zaman Orde Baru pemahaman dan pengetahuan kita di injeksi dengan bahasa-bahasa yang demikian. Padahal pada implementasinya, kita tidak pernah menemukan pemerataan kesejahteraan Nasional. Sistem Ekonomi Pancasila atau juga disebut sebagai sistem ekonomi campuran dari Sosialisme dan kapitalisme, dua hal yang sejatinya tidak akan mungkin bisa disatukan atau dicampuradukkan. Secara garis ideologinya, sistem tersebut bertentangan atas proletar dan borjuasi.
Kemudian dalam pembicaraan yang kedua Narasumber banyak berbicara mengenai kondisi perekonomian Nasional. Dimana pada dasarnya krisis yang terjadi sekarang sebetulnya telah terjadi sejak 4-5 Tahun sebelumnya. Itu terjadi dipengaruhi oleh dua faktor utama, faktor internal dan faktor eksternal. Setidaknya kita bisa melihat masalah tersebut yang oleh Didik J. Rachbini (INDEF) disebut sebagai “Krisis Ganda Empat Bidang”, antara lain Defisit Neraca Jasa, Defisit Neraca Berjalan, Defisit Neraca Perdagangan dan Defisit Neraca Primer APBN.
Dari Defisit Neraca Primer APBN misalnya, bisa dilihat bahwa APBN kita untuk membiayai pengeluarannya sendiri saja tidak cukup mampu apalagi untuk membayar hutang. Akhirnya karena kedalaman defisit tersebut pemerintah dengan terpaksa harus mencari pinjaman (Utang) untuk tidak hanya menutupi utangnya sendiri, tetapi juga untuk menutup defisit dirinya sendiri. Karena berdasarkan data yang disampakan Bhima Yudhistira dalam setiap tahunnya indonesia harus mengeluarkan cicilan utang sebesar 4000 triliun.
Namun ada penyampaian yang menarik yang ia sampaikan mengapa Indonesia sektor pertumbuhan ekonominya tidak meningkat secara signifikan?
Jadi pada dasarnya di indonesia sendiri tidak ada kapitalisme. Toh buktinya Perusahaan-perusahaan yang ada perlahan lahan mulai tutup dan gulung tikar. Malah yang terjadi sekarang di Indonesia adalah ideologi Atatisme “Dari rakyat, oleh rakyat untuk para Birokrat, pejabat-pejabat dan petinggi-petinggi negara”. Mereka dijebakkan pada penyakit birokratisme yang tidak peduli dengan kondisi rakyat yang ada disekelilingnya. Bahkan kita bisa saksikan, sampai pejabat tingkat terbawah sekalipun, mereka memimpin hanya untuk meraup keuntungan dari dana yang digelontorkan oleh pusat untuk di Korup yang kemudian menghantarkan mereka pada kehinaan (ditahan dan dipenjarakan).
Penyakit birokratisme tersebut sama persis dengan yang pernah terjadi di Uni soviet sebagai Negara komunis terbesar pada masanya, harus hancur karena petinggi-petinggi mereka tidak lagi membicarakan kesejahteraan rakyat sekelilingnya untuk masa depan. Kita tentu tidak ingin Indonesia harus terus-menerus seperti ini, menghantarkan masyarakatnya pada kesengsaraan yang tiada henti, kemelaratan yang tidak bisa disangkal dan kemiskinan yang semakin membabi buta.
Tulisan ini pernah dimuat pada 24 September 2018 di Sosialis Demokratik
0Comments
Setiap komentar yang disematkan pada artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator