![]() |
Syekh Siti Jenar memberi wejangan kepada Syarif Hidayatullah di alas purwa/foto dokumentasi pribadi |
Ingat-ingatlah!!!“Mulai sekarang, aku berharap kalian berdua harus memandang tatanan yang sedang kita tegakan bersama ini dalam ibarat bangunan baru. Kita adalah anasir yang membentuk dan memberi daya hidup bangunan tersebut.
Sebuah kutipan dari buku Suluk Sang Pembaharu, buku ke lima "Perjuangan dan Ajarah Syeh Siti Jenar
Sri Mangana, (Raden Walangsungsang) misalnya, harus kita ibaratkan sebagai dinding bangunan yang berperan utama melindungi penghuni dan mencitrai keindahan bangunan.Raden Sahid dapat kita ibaratkan sebagai tiang saka yang menopang atap dan memperkuat bangunan.
Raden Qasim dapat diibaratkan menjadi kusen pintu. Dan engkau, anakku, dapat diibaratkan menjadi atap yang memayungi dan memperindahnya.
Sahabatku Abdul Malik Israil dapat diibaratkan sebagai salah satu tukangnya. Sementara yang lain adalah ibarat bagian-bagian yang melengkapi keutuhan bangunan tersebut. Dan, didalam usaha menegakkan bangunan baru itu, aku telah memilih peran sebagai tanah tempat bangunan baru itu ditegakkan."
"Di Surabaya aku sudah menyatakan kepada saudaraku, Raden Ali Rahmatullah, bahwa di dalam
membangun tatanan baru di Majapahit, aku telah menetapkan kedudukan diriku sebagai tanah yang menjadi pijakan bagi bangunan baru tersebut.
Sebagaimana lazimnya tanah, maka menjadi kewajiban asasi bagi kedudukannya untuk diinjak-injak, dilukai dengan cangkul, dikencingi, diberaki, dijadikan tempat buangan sampah, namun sekaligus sebagai tempat orang bercocok tanam dan mendirikan bangunan. Sekalipun tidak pernah diperhitungkan dalam menegakkan bangunan, di atas tanah itulah sejatinya tiap-tiap bangunan bisa berdiri.
Tanpa tanah yang diinjak-injak, tidak mungkin bangunan-bangunan bisa ditegakkan. Bahkan agar orang bisa
berdiri tegak pun, dibutuhkan tanah untuk tempat berpijak."
"Dengan memahami hakikat tatanan baru yang sedang kita tegakkan seibarat bangunan, hendaknya kalian sadar bahwa kedudukanku harus rendah di hadapan manusia sebagaimana kedudukan tanah.
Bahkan, andaikata nanti bangunan baru itu sudah tegak dengan megah dan orang-orang mengagumi keindahannya, pastilah orang tidak akan ada yang mengagumi dan memuji tanah tempat bangunan tersebut berdiri. Hanya bagian-bagian dari bangunan itulah yang menyadari dan dapat menghargai kedudukan tanah tempatnya berdiri.
Karena itu, jika sewaktu-waktu kalian berdua mendapati aku dicaci maki, diumpat, dikutuk, dan direndahkan orang, hendaknya kalian tidak merasa tersinggung atau marah. Bahkan sebaliknya, jika kalian berdua
mendapati aku dipuji orang seolah-olah aku adalah Dewa dari langit maka kewajiban kalianlah untuk
merendahkanku sesuai kedudukanku sebagai tanah. Ingat-ingatlah selalu kalian akan pesanku ini. Ingat-ingatlah bahwa aku adalah tanah. Tanah. Tanah. Seribu kali tanah.
Sebagaimana kedudukan tanah,
keberadaanku pun wajiblah diinjak-injak dan direndahkan oleh siapa pun yang ingin berdiri tegak diatasku. Hendaknya kalian ketahui bahwa sebutan “Syaikh Lemah Abang” yang diberikan orang kepadaku bukanlah suatu kebetulan, melainkan justru
merupakan cerminan kedudukanku sebagaimana dikehendaki-Nya."
Syarif Hidayatullah dan Raden Qasim tercengang mendengar uraian Abdul Jalil. Mereka menangkap sebuah kebenaran di dalam kata-kata Abdul Jalil. Namun, dengan kenyataan itu mereka tiba-tiba merasakan betapa berat tanggungan jiwa yang harus dipikul guru manusia yang sangat mereka hormati itu. Sejurus mereka tenggelam ke dalam lamunan diri;
mengingat bagaimana peserta pertemuan di Masjid Ampel Denta mengecam dan menjadikan sosok Abdul Jalil sebagai bahan ejekan. Masih segar dalam ingatan mereka bagaimana sebagian anggota Bhayangkari Islah menjadikan Abdul Jalil sebagai sasaran kemarahan dan gerutuan. Dan, kini pun mereka baru saksikan para pengungsi yang tidak
mengerti persoalan ikut mengumpat dan mencaci maki manusia malang itu.
Akhirnya, baik Syarif Hidayatullah maupun Raden Qasim tidak berani membayangkan apa yang bakal dialami Abdul Jalil pada masa datang. Mereka tidak berani melewati batas angan-angan untuk membayangkan lebih jauh tentang rentang hidup penggagas tatanan baru itu.
Namun, rekaman ingatan tentang liku-liku hidup yang telah mereka alami bersama Abdul Jalil, sebagaimana mereka saksikan dan mereka rasakan sendiri, telah membuat mereka terheran-heran dengan kumparan nasib yang membelit orang yang mereka hormati itu.
0Comments
Setiap komentar yang disematkan pada artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator