![]() |
*ilustrasi. |
Teknologi baru ini dapat dikatakan telah menghidupkan kembali rasa ruang publik transnasional dan memperkuat komunitas yang terpinggirkan dan menyediakan platform bagi mereka yang tidak bersuara. Dari berkembangnya teknologi ini akan menerima konsekuensi yang mungkin timbul dari perkembangan pesat seperti perubahan social dan politik. Selain itu, media social juga dianggap sangat efektif yang memiliki perkembangan untuk perubahan luar biasa dan kita dapat saksikan di domain publik.
Jurnal Nurdin Miladi tentang Sosial media dan Perubahan Sosial, ia menganalisis aspek penggunaan media sosial di Tunisia dan Mesir selama dan setelah Revolusi 14 dan 25 Januari 2011.
Represi Aktivis Politik di Tunisia dan Mesir
Sebelum revolusi 14 Januari 2011, Tunisia dan Mesir menyaksikan dekade tergelap mereka dalam penyensoran media dan penindasan kebebasan berbicara. Aktivis hak asasi manusia dan politik jarang berani mengkritik rezim yang berkuasa secara terbuka. Mereka yang melanggar batas bahkan dalam pertemuan kecil, seminar atau simposium akademis akan ditangkap kemudian dijatuhi hukuman penjara.
Um Ziyad, seorang jurnalis wanita Tunisia yang terkenal, disiksa dan dipenjara selama sebulan pada tahun 2003 karena menggunakan blognya untuk menyoroti beberapa masalah yang berkaitan dengan sistem pendidikan di negara tersebut dan menyerukan reformasi yang tepat di sektor ini. Hamadi Jebali, mantan editor koran al-fajr2 pada 1980-an dan mantan perdana menteri dalam pemerintahan koalisi (2012-2013) dipenjara selama lebih 15 tahun di bawah rezim Ben Ali. Pemblokiran sistematis atas halaman beranda aktivis atau halaman Facebook dan YouTube adalah praktik umum. Selama lebih dari 15 tahun, halaman internet al-Nahdah Net, al-Kalima Tunis News, andal Bawwaba, antara lain di sensor di Tunisia.
Di Indonesia pada zaman Orde Baru pun pernah terjadi peristiwa seperti demikian, ketika kelompok yang menolak dengan kekejaman rezim otoriter ini, banyak aktivis dan jurnalis yang ditangkap, bahkan hilang entah kemana keberadaannya. Praktik kekerasan yang dilakonkan rezim Orde Baru masih meninggalkan luka yang begitu dalam bagi keluarga orang-orang yang hilang diculik alat negara kala itu.
Muhammad Syafruddin atau yang akrab di sapa Udin adalah seorang wartawan surat kabar harian asal Yogyakarta, Bernas. Dalam artikel yang di publish oleh Tirto.id pada 24 November 2018, Udin diserang oleh pria yang tak dikenal. Ia dipukul, kepalanya dihantam, dan perutnya disodok dengan besi yang mengakibatkan luka parah serta tak sadarkan diri sehingga Udin meninggal, meski sudah dilarikan ke RS Bethesda, akibat pendarahan hebat di kepalanya. Sebelum tewas, Udin disibukkan dengan agenda peliputan pemilihan Bupati Bantul untuk masa jabatan 1996-2001. Pada pemilihan tersebut, 3 orang kandidat calon bupati yang maju berlatarbelakang militer. Satu calon yang mencolok ialah sang petahana, yakni Sri Roso Sudarmo. Udin dengan ketajaman analisisnya pun membongkar borok-borok pemerintahannya. Selama memegang kendali pemerintahan, Sri Roso dianggap tidak kompeten dan penuh praktik KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme).
Kembali lagi pada keberhasilan gerakan protes melalui sosial media di Tunisia, pada tanggal 14 Januari 2011, Zine el-Abidine Ben Ali yang memerintah Tunisia selama 23 tahun terpaksa meninggalkan negara itu di bawah tekanan yang meningkat dari gerakan protes. Gerakan ini sudah berlangsung sejak 17 Desember 2010 dengan bantuan jaringan media sosial dan TV satelit, yaitu Al-Jazeera Channel. Namun pada saat menjelang revolusi tren aktivisme sosial telah berkembang di Tunisia, sebagian dari jaringan media sosial. Tren ini berkembangan menjadi gerakan protes ketika mencapai momentum melalui peningkatan volume diskusi, dan kampanye kesadaran yang bertujuan untuk perubahan politik.
Selama periode itu, teknologi baru memfasilitasi pembentukan kelompok kepentingan atau masyarakat subkultur di internet. Jejaring sosial onine dalam kasus revolusi Tunisia dan Mesir menjadi bukti sangat efektif dalam mengembangkan dinamika kelompok. Jangkauan media sosial yang tidak terkendali telah menjadi sumber ketidaknyamanan bagi rezim otoriter.
Aksi Protes Penolakan RUU KUHP, Revisi UU KPK dan Omnibus Law di Indonesia
Tentu di negara Indonesia beberapa tahun kebelakang pernah mengalami peristiwa demikian pula, gerakan protes terhadap penolakan RUU KHUP dan Revisi UU KPK yang dianggap kontroversi pada bulan September 2019 itu membuat gerakan protes dari mahasiswa dan pelajar serta elemen lainnya meluas ke berbagai daerah dengan membawa tuntutan yang sama. Setahun kemudian, gerakan besar kembali terjadi pada saat penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja oleh garakan mahasiswa, buruh dan masyarakat sipil lainnya. Dalam dua gerakan besar tersebut pun banyak aktivis yang ditangkap, dan bahkan meninggal akibat dari bentrokan dengan aparat kepolisian yang tak terhindarkan.
Gerakan yang membuat besar tersebut juga tak lepas dari sebagian propaganda sosial media yang digunakan dan menyebar ke seluruh elemen masyarakat dan menjadi aksi protes terhadap rezim Jokowi yang tak terbendung. Dengan kesadaran atas penindasan rezim, masyarakat beramai-ramai memasang pamflet maupun video pada sosial media masing-masing, sehingga jangkauan luas dan dapat dilihat oleh pengguna sosial media lainnya pun ikut tersadarkan untuk ikut serta dalam aksi protes tersebut.
Dalam fenomena tersebut, terbukti bahwa jejaring sosial media pada kasus revolusi Tunisia dan Mesir maupun aksi protes yang sangat besar terjadi di Indonesia menjadi bukti sangat efektif dalam mengembangkan dinamika kelompok. Jangkauan media sosial yang tidak terkendali telah menjadi sumber ketidaknyamanan bagi rezim otoriter.
Penulis: Nahrul Muhilmi
0Comments
Setiap komentar yang disematkan pada artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator