Politik identitas dalam agenda elektoral.


Koran San Francisco Chronicle memasang headline bertajuk “Bradley Win Projokted” pada 3 November 1982, sehari setelah pemilihan gubernur California, Amerika Serikat. Keberanian San Francisco Chronicle mengumumkan Tom Bradley eks Walikota Los Angeles berkulit hitam yang populer dan maju sebagai Gubernur dari Partai Demokrat sebagai pemenang sebelum penghitungan resmi diumumkan menang bukan tanpa alasan.Survai-survai dan exit-poll juga memprediksi Tom Bradley bakal memenangi pemilu dengan selisih besar. Namun hasil resmi menunjukan sebaliknya. George Deukmejian, calon dari Partai Republik yang berkulit putih yang justru menjadi pemenangnya. Charles Henry menemukan faktor ras dibalik kekalahan Bradley. Banyak warga California yang keberatan memilih Bradley karena ia berkulit legam. Warga kulit putih saat di survai menyembunyikan antipatinya kepada Bradley karena takut dituding rasis.[1]

Gambaran diatas lantas oleh sebagian kalangan diduga terjadi pula dalam pemilihan Gubernur di DKI Jakarta 2017 silam. Dugaan ini setidaknya diperkuat oleh beberapa lembaga survai yang menyatakan bahwa Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) suaranya melonjak diangka yang begitu signifikan. Seperti misalnya Survai Indikator Politik Indonesia pada Januari 2016 menunjukan 74% warga puas dengan kinerja Ahok, tapi hanya 48% sudi memilihnya. Pada survai Indikator Mei-Juni 2016, approval rating Ahok mencapai 76%, tetapi kedipilihannya hanya 53%. Survai eksperimen Indikator pada Januari 2016 menemukan etnis dan agama merupakan faktor yang dipertimbangkan penduduk dalam menentukan pilihan. Desain eksperimen juga memberikan informasi yang berharga bahwa kesamaan agama lebih dipertimbangkan dibanding kesamaan etnis.[2]

Pertimbangan pemilih kiranya cukup jelas mengingat Ahok menyandang dua lapis minoritas sekaligus: Kristiani dan Tionghoa. Jangankan dikalangan Muslim konservatif, disebagian kalangan moderat pun terbesit kekhawatiran bahwa naiknya Ahok menjadi sinyal dominasi minoritas yang sebelumnya dianggap sudah merajai ekonomi dan kini merambah ke politik. Dari pernyataan Ahok yang kontroversial membuka celah untuk kelompok Islam politik mempengaruhi massa dan memobilisasinya sehingga isu tersebut amat meluas, dari sinilah politik identitas berjalan.

Di sepanjang Pilkada DKI Jakarta, dan belakangan-belakangan ini, himbauan “jangan bawa-bawa agama” semakin mudah ditemukan dalam berbagai frasa.Apalagi setelah Ahok resmi menjadi Cagub yang diusung oleh PDIP, frasa yang paling ramai diucapkan dari himbauan itu adalah “Jangan gunakan Islam sebagai alat politik”.

Persoalannya, bagi gerakan-gerakan Islam tertentu, garis off-side ini tidak pernah ada. Sebagaimana dicatat oleh Kumar dalam membantah kerangka berfikir yang keliru, sejak awal abad ke-20, muncul gerakan Islam bertujuan politik mengembalikan supremasi Islam dari gerusan kolonialisme yang dipelopori oleh tokoh-tokoh Muslim seperti Hassan Al-Bana, Abul Ala Al Maududi. Gerakan yang kemudian kita kenal sebagai Islam politik ini sejak lama berada di Nusantara, menjadi bagian dari apa yang telah dipahami sekarang sebagai Islam Nusantara itu sendiri, dan bisa dilihat mereka ada dalam demo hari ini sebagai salah satu kekuatan dominan. Menghimbau gerakan Islam ini untuk “tidak menggunakan Islam untuk politik” sama dengan menghimbau “Jangan gunakan oksigen untuk bernafas”.[3] Sekarang sebetulnya siapkah dengan keadaan demikian menerima gagasan Islam politik sebagai bagian dari khazanah pemikiran politik di Indonesia?

Beda halnya dengan Syamsul Arifin[4] dalam memberikan pendapatnya. Pembelahan kelompok masyarakat yang direpresentasikan pada calon yang terbawa hingga pemilu selesai mengindikasikan bahwa demokrasi di Indonesia masih sebatas demokrasi prosedural; yang mana tahapan ini juga diiringi dengan sengkarut tata kelola. Sementara demokrasi dalam arti yang esensial, demokrasi Indonesia dikatagorikan masih jauh dari kata ideal. Demokrasi akan dikatakan mendekati ideal apabila bisa dibingkai oleh apa yang disebut Robert W. Hafner dengan istilah demokratic civility, yang berarti demokrasi yang tegak antara lain di atas nilai-nilai toleransi supaya politik elektoral terhindar dari chaos. Jika keadaan demokrasi model demikian belum bisa ditegakkan, kekhawatiran berakhirnya demokrasi secara mengenaskan akan terjadi seperti beberapa judul buku yang terbit belakangan, diantaranya Is Democracies Failing? (2018), How Democracy Ends, (2018),dan How Democracies Die (2018).

Di Indonesia menjelang perhelatan elektoral dibuka money politic tampaknya menjadi rahasia umum dikalangan publik. Tentu saja untuk mengikuti agenda elektoral 5 tahunan tersebut membutuhkan banyak biaya yang tidak sedikit. Elite yang ikut serta dalam kontestasi politik tentu saja memiliki modal dan berbagai konsesinya dalam bentuk yang terlihat maupun yang tidak. Modal yang terlihat tentu saja dalam bentuk materi, terutama uang. Sementara yang tidak terlihat namun seringkali memiliki efek yang lebih dahsyat daripada materi adalah kemampuan elite mengontruksikan suatu gagasan retoris yang mempengaruhi emosional massa (dalam bahasa Vedi R Hadiz dan Burhanuddin Muhtadi Populisme Islam) yang demikian kemudian mampu membentuk solidaritas secara meluas yang akhirnya diarahkan pada pencapaian politik elektoral. Gejala demikian dalam pilpres kemarin secara mendalam cukup akrab dibenak publik.

Memasuki usinya yang ke-20 tahun pasca reformasi, demokrasi Indonesia sudah seharusnya tumbuh secara lebih baik. Harapan tersebut diinginkan mengingat Indonesia memiliki perjalanan panjang dengan sistem ini. Namun tidak demikian faktanya, laporan The Economist Intellegence Unit yang melakukan penelitian di 167 negara, rangking demokrasi Indonesia turun 20 peringkat dari posisi sebelumnya 48 menjadi peringkat 68.

Burhanuddin Muhtadi bersama Lembaga Survai Indonesia (LSI) pernah melakukan survai nasional pada agustus 2018 terhadap 1520 responden yang dipilih dengan metode multi-stag random sampling. Intoleransi dikatagorikan kedalam dua dimensi: yakni intoleransi religius-kultural dan intoleransi politik. Dalam studi tersebut akhirnya mendapat kesimpulan bahwa warga Muslim cenderung intoleran kepada non-Muslim, terutama dalam hal politik. Pada tahun 2018, sebanyak 59% responden Muslim keberatan Non-Muslim menjadi Presiden; 55% keberatan non-Muslim menjadi wapres; 52% keberatan non-Muslim menjadi gubernur dan bupati atau walikota. Dari kesimpulan data yang dibuat, intoleransi warga secara politik meningkat sejak 2 tahun terakhir terutama sejak aksi 212 berlangsung pada 2016.[5]

Meski begitu, banyak pula para ilmuan politik melihat populisme secara positif untuk mengontrol elite politik atas demokrasi representatif. Dalam konteks ini, Taggart menilai populisme sebagai indikator kesehatan sistem demokrasi perwakilan atas kemungkinan tidak berfungsinya salah satu atau beberapa organ sistem politik. Populisme adalah cermin demokrasi, agar elite tidak lupa menyerap sebesar-besar kepentingan rakyat dalam proses pembuatan kebijakan.


[1]Burhanuddin Muhtadi, Populisme Politik Identitas & Dinamika Elektoral,…, h. 10

[2]Burhanuddin Muhtadi, Populisme Politik Identitas & Dinamika Elektoral,…, h. 12

[3]”Mendudukkan Kembali Prasangka Negatif Atas Gerakan Islam”, https://islambergerak.com, diakses pada 16 Februari 2020, pukul 10.06 WIB.

[4]Syamsul Arifin, Populisme, Demokratisasi, Multikulturalisme, (Malang: Intrans Publishing, 2019), h. 10

[5]Burhanuddin Muhtadi, Populisme Politik Identitas & Dinamika Elektoral,…, h. 36