![]() |
Poto: Radjimo S. Wijono (diambil dari kanal Facebook) |
Lintasan ingatan di keheningan malam kadang kala mengantarkan kenangan masa lampau yang pernah terjadi dalam perjumpaan singkat bersamanya, (alm) Radjimo, Ketua Wilayah Banten Masyarakat Sejarahwan Indonesia. Betapa tidak, kami memiliki rencana bersama yang tak tuntas terlaksana. Tak pernah ku lupa padanya meski hanya 4 kali kami bertatap wajah. Seseorang yang dengan segala kesederhanaannya justru membuat ku terpesona luar biasa, menganggapnya begitu istimewa dan layak ku anggap sebagai guru dalam berkawan. Sekiranya tak ada melebih-lebihkan pandangan ku terhadapnya melainkan hanya sebatas gelora isi hati yang ku curahkan dalam tulisan.
Semenjak terbitnya buku (novel sejarah) Lelaki di Tengah Hujan (LdTH) karya Wenri Wanhar, yang mengisahkan kembali ringkasan sejarah gerakan perlawanan mahasiswa era 90an terhadap rezim tiran Orde Baru. Pada saat membaca buku tersebut, aku terhanyutkan oleh isi rangkaian aksaranya, gairah ku tergugah, begitu hidup-menghidupi. Membangkitkan semangat juang merayakan perjalanan dalam meluluhlantakkan penindasan manusia atas manusia demi terciptanya tatanan masyarakat adil-makmur, lahir dan batin.
Lingkaran persekawanan ku turut serta membaca buku LdTH dan mengalami apa yg ku alami, dengan menengok pada realitas yg senantiasa terus bergerak dan menyadari bahwa penindasan masih berlangsung, tanpa tersadar kami sama-sama terjerat hasrat untuk mengulas kembali sejarah perlawanan mahasiswa era 90an yang tertuang pada buku LdTH dalam bentuk kegiatan Bedah Buku di Universitas Bina Bangsa yg di selenggarakan pada 22 Mei 2019, dengan maksud menginternalisasikan semangat juang mahasiswa terdahulu dan menggelombangkan penuntasan perjuangan.
Dalam proses pelaksanaan kegiatan, selain mengundang Wenri Wanhar sebagai penulis, kami turut sertakan Kepala Perpustakaan Universitas Bina Bangsa, Aip Rohadi, tidak luput daripada nuansa seni, maka kami hadirkan Peri Sandi yang secara kebetulan sedang berada di Kota Serang, dan terakhir (alm) Radjimo, ketua Banten Masyarakat Sejarahwan Indonesia.
Wenri Wanhar bersedia menjadi Nara sumber ketika berkomunikasi melalui via online, Aip Rohadi pun bersedia, saat berkomunikasi dengan Peri Sandi, kami bersepakat untuk menggelar pertemuan di salah satu cafe di Kota Serang pada suatu malam, sejenak bercengkrama dalam riuh rendah angin melintas maka Peri Sandi pun bersedia menjadi bagian dari Nara sumber.
Setelah kami bertatap mesra lalu berpisah, aku dan beberapa kawan langsung bergegas menuju kediaman Radjimo pada pekat malam, pertemuan singkat itu menjadi awal perjumpaan ku dengannya dan tak disangka sangat mengesankan secara pribadi karena pancaran kelembutan pribadinya yg mengenai ku. Sebelumnya 2 orang kawan ku telah bertemu dengannya, bermaksud meminta beliau sebagai nara sumber, namun beliau menolak dengan alasan terbentur kegiatannya di lain kota, walaupun belum final.
-Perkenankan aku menyapanya Mas Djimo-
Maka dari itu kami memutuskan untuk mengunjungi kediamannya. Kali ini kami hendak meminta kembali, dan tuntaslah, beliau bersedia menjadi nara sumber untuk kegiatan Bedah Buku nanti. Perjumpaan singkat malam itu, tak di sangka kami diiringi desir hujan lebat, aku begitu terkesan dengan pekerjaan yang sedang digelutinya, "meneliti dan menulis". Sejak lama, aktifitas demikian memang nyaris hilang dari pusaran organisasi gerakan secara umum dan malam itu kami juga sangat menyadari atas perlunya kerja-kerja intelektual. Setidaknya, setiap untaian kata yang Mas Djimo sampaikan telah cukup merangsang ingatan kami tentang keharusan melakukan aktifitas tersebut. Diakhir perbincangan pada 17 Mei 2019, tekad kami sudah bulat untuk ikut terlibat 'kelas menulis' dengan Mas Djimo yang akan dimulai setelah kegiatan Bedah Buku.
Semenjak itu kami bertukar kontak, lalu pada 21 Mei 2019 di malam hari yakni sehari sebelum pelaksanaan kegiatan, aku masih ingat pada waktu itu Mas Djimo mengirimkan pandangan singkatnya secara tertulis mengenai kegiatan Bedah Buku yg belum sempat ku baca hingga kemarin, 16 September 2020. Dan seperti anggapan ku, beliau menuturkan pandangannya sebagai seorang sejarahwan.
Terjadilah, kegiatan di selenggarakan di 'teras' kampus antara gedung B dan C Universitas Bina Bangsa pada sore hari, kesederhanaan acara namun terasa begitu luar biasa istimewa, ditengah masyarakat muslim yang sedang melaksanakan puasa ramadhan tetap tak menghentikan banyak kalangan untuk menghadiri kegiatan, dan para Nara sumber pun mengapresiasi antusias para audiens yg cukup ramai. Wenri Wanhar ditemani Wili datang lebih dulu sebelum acara dimulai, mereka telah menunggu di depan kampus dan ditemui oleh kawan ku, Syamsul Maarif. Kegiatan kecil yg tak mendapat izin kampus menghambat penyelenggaraan kegiatan, aku sebagai Ketua Organisasi Himpunan Mahasiswa Fakultas Hukum bersitegas melaksanakan kegiatan, inilah kali pertama kami melakukan kegiatan, maka terasa sedikit canggung.
Sembari menunggu dekorasi selesai, hanya berlatar spanduk ukuran 1.5m×3m menghadap lapangan, kibaran bendera organisasi Himpunan Mahasiswa Fakultas Hukum, Universitas dan merah putih, ditambah kursi sofa untuk para Nara sumber, tak ada kursi untuk para audiensnya. Nara sumber yang mulai berdatangan hanya menunggu di kantin. Setelah selesai, aku bergegas mendatangi para Nara sumber di kantin yang sedang bersenda gurau dan langsung mengajaknya ke lokasi kegiatan yang berjarak -+ 100 meter dari kantin. Ketika hendak memulai kegiatan, mengetahui tidak adanya kursi bagi para audiens, Mas Djimo mengusulkan kepada para Nara sumber lainnya untuk duduk setara bersama para audiens, mendengar itu aku merasa tak sampai hati pada para Nara sumber sekaligus terharu karena kesediaan mereka. Dan acara berlangsung lancar.
Adzan magrib berkumandang mendandakan berbuka puasa bagi masyarakat muslim sekaligus selesai selesainya kegiatan, setelah berbuka puasa dengan makanan ringan yang kami sediakan, sejenak menunggu panitia yang melaksanakan solat magrib secara bergantian dan membereskan dekorasi kegiatan, panitia melangsungkan evaluasi, namun aku tidak mengikutinya karena aku dan para Nara sumber makan bersama diluar. Riang mesra kami bercengkrama, aku tak banyak bicara, lebih banyak mendengar untaian wawasan para Nara sumber, di sela-sela percakapan hadir bayang-bayang kegiatan, alangkah baiknya kami menggelar kegiatan bersama.
Kami berpisah, waktu berlalu dalam hitungan bulan. Aku dan kawan-kawan merasa ingin melangsungkan kegiatan 'kelas menulis' bersama Mas Djimo. Aku yang tengah bersama kawan-kawan, menghubungi Mas Djimo melalui pesan WhatsApp, hendak mempertegas kelangsungan kegiatan tersebut, dan Mas Djimo yang mempersilahkan kunjungan kami, kami langsung bergegas menuju kediamannya.
Sesampai dirumahnya telah hadir lebih dulu beberapa mahasiswa yang bertamu, kedatangan kami membuat mereka pulang dan hanya menyisakan 2 orang mahasiswa dan kami ikut nimbrung bersama mereka di teras rumahnya. sebagai tuan rumah, Mas Djimo menyediakan beberapa kopi, roko lintingan dan air putih dari kendi. Kami tak membicarakan soal kelas menulis, justru Mas Djimo menuturkan kepada kami tengah melakukan penelitian peradaban masa lampau dimulai dari situs Banten Girang dan menyusuri sepanjang aliran sungai Cibanten hingga menuju lautan Utara Banten. Ya, dimana ada air pasti ada kehidupan. Mereka hendak mendongkrak peradaban masa lampau yang akan dijadikan kurikulum bagi para pelajar di Banten dan pengetahuan umum.
Mengetahui hal itu, aku mengungkapkan kediaman ku yang berada di timur sekitaran aliran sungai Cibanten, Kelurahan Lopang. Mas Djimo bergegas melontarkan pertanyaan padaku, 'ada cerita mitos ga disana?'
'ada', kataku.
Maka aku menceritakan padanya yang ku ketahui, mengingat bahwa aku dan kawan-kawan sekitaran rumah ku yang kadang kala ketika hujan sering 'kanyutan', berenang menyusuri aliran sungai hingga di bawah jembatan Kidemang.
Aku mengisahkan di sepanjang aliran sungai Cibanten sekitaran rumah ku terdapat kali kerbau tempat para kerbau 'mandi' mendandakan adanya pertanian. Mengikuti aliran sungai ke arah utara terdapat mitos warga sekitar adanya 'batu mangap', batu yang ketika banjir berada di tengah bahkan pernah menelan 'korban' jiwa dan berada di pinggir ketika air sungai tengah surut.
Mas Djimo, 2 orang mahasiswa yang baru saja ku kenal dan kawan-kawan ku antusias mendengar kisah dariku.
Aku melanjutkan, Ada pula dikenal dengan nama kali singsong, dimana terdapat 'batu sajadah', batu berbentuk sajadah yang menghadap kiblat masyarakat muslim, dan kawan-kawan ku yang tinggal di sekitaran kali singsong mengatakan terdapat seseorang yang secara rutin solat di batu tersebut.
Kegiatan penelitian yg sedang di lakukan oleh Mas Djimo dan 2 orang mahasiswa beserta lainnya, sekaligus hendak menggelar Road Show 'Festival Budaya' dipinggiran aliran sungai hingga ke laut Utara Banten. Mas Djimo menawarkan kami untuk ikut terlibat dalam kegiatan tersebut dan mengingat bahwa kediaman ku berada di timur sekitaran sungai Cibanten, kelurahan Lopang, beliau meminta padaku secara pribadi untuk mempersiapkan kegiatan ketika Road Show berjalan di kelurahan Lopang, dan aku menyanggupinya. Dan kami sepakat, kegiatan kelas menulis dilakukan pada waktu luang Mas Djimo.
Malam telah larut, kami berpamitan untuk pulang.
Waktu terus bergerak, setidaknya ketika ia mengajak kami bergabung bersama kegiatan-kegiatannya, meski akhirnya sampai ia pergi kembali pulang pada pangkuan semesta, aktifitas itu tidak pernah terlaksana. Ya, aku ingat suatu pagi lebih kurang pukul 9an, 17 Januari 2020, aku yang tengah tidur tiba-tiba terbangun oleh getaran panggilan WhatsApp dari Abang queh, Endi, meminta ku untuk mendatangi kediaman Mas Djimo, sebab tersiar kabar bahwa beliau meninggal dunia, aku yang 'setengah sadar' tercengang kaget. Telepon usai, aku melihat riwayat panggilan dari kepala perpustakaan, Aip Rohadi yang ternyata juga telah mendengar hal serupa. Aku menelepon kembali dan langsung bergegas menjemput beliau untuk kerumah Mas Djimo, dan aku hanya diam sesampainya disana, kabar tersebut tidak salah sasaran.
Tak ku sangka, hari itu adalah pertemuan ke 4 ku dengannya, yang menjadi pertemuan abadi sepanjang masa. Aku bersedih mengingat lintasan kenangan singkat dan rencana kegiatan bersamanya, sekaligus menguatkan diri bahwa ia telah aman bersemayam bersama semesta.
0Comments
Setiap komentar yang disematkan pada artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator