Sejak pagi itu aku sudah merasa tidak karuan ingin segera pergi ke tempat dimana semua asa dirajut. Akhir-akhir ini aku memang tidak terbiasa berlama-lama di rumah sejak segala sesuatu yang membuat aku nyaman bersamanya dipaksakan berakhir untuk alasan yang tidak pernah aku mengerti.

Aku berjalan menembus pemukiman warga untuk menunggu angkutan umum di pinggir jalan raya. Singkat cerita aku sudah berjalan meski ada hal yang mengganjal dimana Angkutan Umum yang aku naiki sepertinya sudah tidak mengindahkan zonasi tata kota yang sebelumnya sudah sedemikian rupa diatur.

Karena penumpang hanya aku seorang, hal ini tentu saja agak sedikit menguntungkan, "persoalan yang mengganjal itu itung-itung untuk membuka obrolan", pikirku.

Benar saja, soal ketidak tertiban angkutan umum ini akhirnya menghantarkan kami pada obrolan panjang hingga aku sampai pada tujuan.

Ketidak tertiban ini bermula dari tidak menopangnya angkutan (penumpang) di tempat dimana aku harus narik, kata sang supir sambil lesu karena hanya membawa satu orang dalam keadaan jarak tempuh yang lumayan jauh. Murib, nama yang supir itu (Nama Samaran).

Dia banyak bercerita keadaan pribadinya tanpa sungkan meski membenani fikirannya.

Keadaan seperti sekarang, dimana Covid-19 masih belum mampu dikendalikan, tidak saja berimbas pada Negara secara umum atau mungkin pengusaha-pengusaha besar yang aktifitas produksinya sudah hilir mudik ke luar negeri. Namun juga berimplikasi pada Murib yang aku obrolin ini.

Wabah ini telah menjadi sebuah teror yang menakutkan hampir semua orang untuk memilih tidak beraktifitas diluar rumah. Termasuk tidak bepergian ke mall, pasar swalayan untuk berbelanja Kebutuhan Rumah Tangga (KRT) bahkan pergi ke tempat ibadah sekalipun kadangkala tidak dilakukan.

Tentu keadaan ini amat memberatkan bagi orang yang aktifitas kerjanya bergantung pada jalan, dimana dalam hari-hari normal Pasar atau tempat keramaian lain menjadi sumber rezeki bagi mereka. Inilah alasan yang paling utama sang supir tidak lagi mengindahkan tata kota dimana angkutan umum diharuskan kerja dengan prinsip sesuai kewilayahan.

Alasan kedua, yang memaksa mereka harus ambil risiko mengeluarkan bensin yang banyak karena jauhnya jarak tempuh adalah tidak berkeadilannya distribusi Bantuan Sosial (BANSOS) yang dijanjikan pemerintah dengan kriteria-kriteria tertentu. Bekerja sebagai supir, ada dalam kriteria dimaksud, namun tidak dengan distribusinya.

Sambil tanpa beban dan perasaan kesal Murib berucap, Ia mulai memaparkan hitung-hitungan dapurnya yang sudah jauh dari kecukupan. Meski sedemikian itu, Ia masih saja merasa bersyukur dengan membandingkan dengan kawan satu profesinya yang bahkan lebih parah. "Sudah punya banyak tanggungan keluarga, narik angkotnya ga mau keluar kota", katanya sambil meratap.

Dari perasaan senasib dan seprofesi itu, untuk membantu kebutuhan teman-temannya yang bernasib kurang bagus, Murib menginisiasi untuk urunan (Iuran) dengan kawan yang lain meringankan beban kawannya itu.

Kembali pada soal hitung-hitungan. Tentu semua orang akan memiliki argumentasi yang sama jika ditanya soal penghasilan masing-masing sebelum dan ketika Covid-19 berlangsung.

Untuk mencukupi kebutuhan rumah tangganya, per hari Murib harus mengantongi uang Rp.100.000 (Seratus Ribu Rupiah). Itu sudah bersih dipotong bensin dan juga setoran ke pemilik Angkutan Umum. Jumlah uang itu dibagi untuk: Kebutuhan dapur, jajan anak dan rokok. Segitu sudah cukup. Untung saja tanggungan keluarga masih ada dua, kata Murib.

Masalah Bansos menjadi obrolan yang paling banyak ia bahas dengan kami di malam itu. Aku cukup memahami mungkin dia belum puas meluapkan kekesalannya terhadap pemetintah setempat. Yang membuat Murib terus menerus menggerutu bukan karena soal diberi harapan palsu (PHP) nya saja, lebih parah dari itu, Pemerintah malah ngeklaim bahwa distribusi itu sudah betul-betul diberikan.

Untuk tetap menjaga stabilitas dapur, salah satu upaya yang dilakukan Murib adalah menjual perhiasan istrinya yang dulu Murib berikan saat akad nikah. Sampai disini kita sudah bisa berkesimpulan bahwa situasi ini sudah cukup mendesak untuk orang seperti Murib.

Masih sedikit beruntung, keadaan ini juga telah membuat iba pemilik angkot untuk tidak mematok setoran seperti sebelum-sebelumnya.

Sampai di Kota, dimana Ia biasa bekerja, malam itu cukup menggairahkan untuknya karena sedikit demi sedikit penunpangnya bertambah hingga Angkotnya penuh. Menurut Murib, malam ini sangat jarang ia temukan selama wabah. Untuk itu Murib nampaknya bernafsu memaksakan bangku mobilnya didesaki oleh penumpang yang kapasitasnya over.

Sampai disini Murib sumringah dan ceria sambil mengikhlaskan segala sesuatunya yang telah terjadi meski sesulit apapun.



(Percakapan tertanggal 26 Mei)