SETIAP agama memiliki doktrin tentang pembersihan diri, pengujian diri dan mungkin penyucian diri. Aku, sebagai orang yang kebetulan lahir sebagai orang Islam tentu saja tidak lepas dengan berbagai doktrin itu. Dan kebetulan, pada kesempatan sekarang ini aku sedang melalui salah satu dari ragam doktrin yang diajarkan agama, yaitu Berpuasa.

Ritual ini sebetulnya memiliki sejarah panjang bagi umat manusia bahkan sejak pra sejarah belum dimulai. Tidak saja di Islam, puasa juga dikenal di agama agama lain seperti Uposatha dalam agama Budha, Berpantang dan berpuasa dalam ajaran Katolik, Upawasa dalam ajaran Hindu dann juga Yahudi serta Konghucu dalam ajarannya mengenal juga puasa. Meski berbeda dalam hal tata cara pelaksanaannya, namun esensinya dominan mirip

Di setiap rutinitas yang kita jalani selama satu tahun, agaknya tidak ada momentum yang memberi nuansa tersendiri kecuali di bulan puasa ini. Meski bulan ini merupakan ujian, jika dilewati secara bersama-sama, kita tidak akan mendapatkan masalah. Yang akan kita dapatkan adalah kebahagiaan.

Saya dan mungkin sebagian dari anda akan merasa sulit merumuskan sebuah kebahagiaan batin yang kita dapatkan di bulan seperti sekarang ini. Tiba-tiba saja, tatkala bulan ini berlabuh, batin kita riang gembira menyambutnya.

Namun ada alasan umum yang mungkin bisa kita sama-sama terima sebagai alasan untuk menggambarkan ini adalah karena keunikannya. Maksudnya unik karena bulan ini hanya datang dalam satu tahun sekali. Sama halnya dengan ketika kita berada di perantauan yang jauh, hanya baru merencanakan pulang kampung saja kita sudah sangat bergembira ria. Ada sesuatu yang tertahan di dalam yang akan segera meluap. Kenapa begitu?, karena ada hal yang biasa kita lalukan secara rutinitas, tiba-tiba harus terputus oleh waktu karena tuntutan hidup. Nah perasaan kita sejak  akan puasa pekan lalu berada dititik ini.

Tak ayal, bagi umat manusia di seluruh dunia yang menjalankan bakti keimanan ini, yang konsumtif maupun yang produktif harus menyesali keadaan lantaran momen kebahagiaan yang dinanti-nanti ini harus dilewati dengan nuansa yang sama sekali berbeda, tidak bisa saling menikmati hidangan dengan karib, berwisata kuliner bersama, berkumpul dengan sanak saudara dan berbagai hal lain yang akhirnya harus terlewati dengan hambar, terhijab oleh pandemi dan kita sungguh menantikan semuanya bisa baik dan pulih seperti sedia kala.

Sejak segala halnya bisa saja terjadi, kita kudu bangkit dan tersadar, meski ini menjadi nasib yang pahit bagi umat manusia, tidak selalu demikian dengan apa yang sering kita sebut takdir. Tapi adakalanya ulah manusia itu sendirilah yang merongrong keadaan baik menjadi tidak baik, perasaan bahagia menjadi tak bahagia.

Jika yang terjadi betul adanya campur tangan Tuhan untuk memberi skema, keputusan yang harus diambil adalah teguh dan mengakui secara sadar bahwa Dialah yang membolak-balikan segala sesuatu. Namun tidak dengan ulah tangan manusia. Meski begitu nampaknya tetap saja kita tak bisa berbuat banyak kecuali berteriak dan bersuara dalam sunyi.

Tatkala kita beranjak pada taraf kesadaran yang lebih tinggi tentang segala sesuatunya bergerak dan berubah kemanapun arahnya, tidak ada hal lain yang patut kita serap intisarinya. Batin kita tidak akan pernah selesai jika segala sesuatunya tidak dijadikan batu pijakan untuk kita bisa melompat kedepan. Sejak patilasan itu kita kukuhkan, mengikhlaskan semuanya untuk mendapatkan segalanya, titik kebagahiaan yang kita cari sesungguhnya ada dihadapan kita, kita akan benar-benar meraihnya kawan. Kebagahiaan sejati ketika kita melepaskan segalanya, menikmatinya sendiri, sementara yang lain adalah hijab dan fatamorgana yang jika kita mengikutinya tidak akan pernah bertemu titik nadirnya.

Dari sinilah sesungguhnya kita harus memulai. Yang telah lalu tak ubahnya naskah penuntun dan bahan ajar penempa diri. Didepan kitalah sesunggunya semua hal yang baik bisa kita raih