Relawan kemanusiaan untuk tsunami selat sunda dari GPM Malaysia/dokumentasi pribadi
Relawan kemanusiaan untuk tsunami selat sunda dari GPM Malaysia/dokumentasi pribadi

Kita tidak bisa menghentikan bencana alam, akan tetapi kita dspat mempersenjatai diri dengan ilmu pengetahuan. ~Petra Nemcova~

Masih terngiang dengan jelas peristiwa kala itu dalam ingatanku. Sebuah kejadian yang amat tragis dan membuat traumatik sebagian orang yang terdampak langsung oleh peristiwa itu.

Yah, peristiwa itu adalah bencana alam yang memporak porandakan sebagian wilayah yang kami tinggali. Meski aku tidak secara langsung mendapatinya, namun rasa iba ini telah cukup menggerogoti ulu hati untuk terpanggil membantu mereka. Peristiwa itu terjadi pada 22 Desember Tahun 2018 lalu.

Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya ketika hendak menyambut malam tahun baru, peisisr-pesisir pantai di bagian selatan itu nyaris sepi tidak ada pengunjung sama sekali.

Yang ada hanyalah reruntuhan-reruntuhan tempat tinggal, ruas jalan yang rusak dan terputus serta bebatuan yang tergeser tak teratur dan kendaraan-kendaraan yang ringsek yang tidak sempat tertolong oleh pemiliknya

Di bagian Ujung Kulon sana juga tak kalah tragisnya. Hanya butuh satu malam saja, air laut telah mampu meratakan pemukiman-pemukiman warga yang dekat dengan pesisir menjadi dataran yang nyaris tiada meninggalkan bekas. Tercatat, 426 orang tewas dalam peristiwa ini, 7.202 terluka, dan sisanya dinyatakan hilang berjumlah 23 orang.

Jumlah korban di Ujung Kulon ini jauh lebih besar dibandingkan dengan jumlah korban di tempat-tempat lain yang juga mengalami hal serupa.

Hal itu terjadi karena para relawan dan orang-orang yang peduli kemanusiaan atas bencana Alam sangat kesulitan mengalirkan logistiknya ke bagian ujung akibat ruas jalan yang terputus dan kekhawatiran akan tsunami susulan.

Baru setelah sepekan terlewati logistik dan peralatan berat lainnya mulai masuk untuk memberi bantuan kesana.

Sambil menunggu situasi dan kondisi membaik, kami dengan elemen yang lain berupaya menggalang logostik guna membantu meringankan kebutuhan warga desa yang terdampak musibah. Terhitung, kami kesana bisa empat kali bolak balik membawa berbagai kebutuhan pokok. Sementara untuk yang terakhir itu, kami berkesempatan ikut serta bersama rombongan dari negeri jiran.

Aku mendapat kabar sekelompok relawan dari negeri tetangga beserta rombongan dari lombok akan menyalurkan sedikit bantuan kesana. Kebetulan waktu itu aku yang diperintahkan untuk memberi petunjuk jalan agar para rombongan ini bisa sampai tujuan. Tentu saja sebagai orang yang sebelumnya telah mondar mandir kesana bahkan jauh sebelum tsunami menggoncang Selat Sunda aku sangat menghafal jalan arah itu.

Sebelumnya, para relawan dari negeri Jiran ini memang telah singgah lebih dulu ke Lombok. Karena disana juga mendapati bencana yang serupa meski waktunya tidak bersamaan. Nah barulah setelah memberi bantuan terhadap masyarakat disana, relawan ini memutuskan ke Banten bersama beberapa orang dari Lombok yang lain, juga beberapa kawan dari Jakarta.

Yang berkewarga negaraan Indonesia ini nampaknya orang-orang Mapala yang sudah belasan tahun lalu telah lulus. Aku masih mengingat nama-nama mereka. Mereka ini relawan dari sebuah organisasi Internasional bernama 'Global Peace Mission Malaysia' yang fokus di bidang bencana alam dan bencana kemanusiaan akibat konflik dan peperangan.
Rombongan relawan kemanusiaan GPM Malaysia saat akan pulang/dokumentasi pribadi ditengah-tengah bekas tsunami di sumur, Cibaliung mengemas paket bantuan untuk korban bencana alam tsunami selat sunda

Setelah beristirahat satu malam di rumah salah satu orang yang aku anggap sebagai penuntun, pagi itu kami bergegas pergi ke pusat perbelanjaan tradisional untuk membeli semua kebutuhan yang paling dibutuhkan masyarakat disana.

Untuk mengetahui kebutuhan apa saja yang diperlukan masyarakat disana, tentu saja kami tidak menerka-nerka. 

Beberapa hari sebelumnya, aku bersama beberapa kawan datang terlebih dahulu kesana secara langsung untuk melihat di wilayah mana saja yang terdampak secara parah dan belum mendapatkan bantuan secara penuh. Disana juga aku meninggalkan dua karib akrab untuk menunggu hingga kami datang. Kami berangkat kesana pada 6 Januari 2019.

Karena aku memiliki beberapa kawan satu Kampus disana, kami tidak merasa harus kerepotan mencari tempat tinggal untuk beristirahat selama beberapa hari lamanya.

Kami singgah disana pada malam harinya karena jarak tempuh yang lumayan jauh. Setelah beristirahat untuk meluruskan otot-otot tubuh yang mulai tidak karuan, esok harinya kami sudah akan mulai menjalankan misi kemanusiaan.

Mengemasi barang-barang yang sebelumnya telah kami beli, membungkusnya untuk dijadikan ratusan paket, berseragam, lalu kami berangkat ke tempat tujuan ditemani oleh seorang Ibu dari kawan kami yang kebetulan ia adalah seorang Guru.

Sebagai seorang Guru tentu saja pusat perhatian yang ia berikan mengarah pada anak-anak pelajar. Dari dia lah kami memutuskan untuk menyambangi anak-anak pelajar terlebih dahulu di sebuah Desa yang tempat tinggal bahkan bangunan Sekolah mereka ludes diterjang air.

Meski dalam keadaan serba traumatik, tidak cukup sulit untuk kami mengumpulkan anak anak Sekolah ini untuk nimbrung bersama-sama. Mereka diberikan traumahiling untuk beberapa saat, diberikan perlengkapan sekolah dan berbagai cara yang lain sehingga mereka tertawa dan mampu bercanda seperti sedia kala.

Untuk semua kegiatan ini telah di ekspose oleh reporter yang turut serta dan dimuat di laman media dimana ia kerja. Dari semua ini aku banyak belajar tentang arti pentingnya sebuah tawa dan kebahagiaan seseorang yang telah diraut oleh pedih dalam beberapa detik saja.

Di hari kedua kami juga melakukan hal serupa untuk menginjakkan kaki diatas reruntuhan bangunan yang telah rata itu.

Ada banyak sekali kami dengar keluh kesah, bahkan unek-unek jengkel kelar dari mulut warga terdampak tentang distribusi yang tidak sesuai sasaran, bahkan yang lebih nahas mempolitisirnya untuk kepentingan pribadi sesaat. Kebetulan waktu itu memang jaman-jamannya sedang massif kampanye Pemilu serentak.

Dalam kejadian kali ini juga selepas membagikan kebutuhan-kebutuhan itu selesai, pada sore harinya kami berkesempatan menikmati suasana alam yany cukup berkesan yang akhir-akhir ini memang aku sudah tidak lagi melewatinya, yaitu berenang di air terjun.

Meski tidak setinggi seperti yang lain, di tempat yang kami singgahi itu kejernihan dan kesegaran airnya tidak kalah baik dengan air yang berada di tempat lain. Kami melepaskan semua beban kehidupan di dalam genangan air ini sore itu.

Sungguh, kami sedang tidak mencoba bahagia diatas penderitaan orang lain yang sedang kewalahan berjibaku dengan perasaan traumatiknya.

Kegembiraan kami atas kesempatan mengenali mereka juga bukan bermaksud untuk menebarkan kepamrihan sesaat. Rasa iba kami dalam hal bencana yang tengah melanda sudah tidak bisa dinegosiasikan kembali.

Semua perjalanan ini telah begitu memberi pengalaman yang berarti untuk aku tenggerkan dalam sebuah catatan pendek ini meski perjalanan di hari-hari yang serba dilingkupi ketakutan itu juga sangat pendek dan singkat.


Sehat-sehat selalu untuk kalian dimanapun berada dalam menjalankan setiap misionaris kemanusiaan