BUMI pernah bercerita perihal kecintaannya pada sang surya. Betapa cahayanya mampu menghangatkan, betapa dalamnya ia terpikat karenanya. Lalu pada suatu malam yang pekat, kulihat sang rembulan datang mengambil alih, tandaskan bahwa ialah pemilik satu-satunya. Tamak dan tak tahu diri. 

Lalu pada suatu malam yang pekat, kulihat sang rembulan tengah menari bersama gemintangnya. Tariannya mengguncang batin sang bumi, hampir saja pasang menerjang teratak kami. Perih hati mengenangnya, sang bumi pun menangis bersedu-sedu, namun tak satu pun suara yang ia keluarkan. Ibarat sebuah pohon besar, dahan-dahannya kini telah kering, patah dan siap dibakar. 

Namun pada satu malam kudapati sang bumi tersenyum, pada rembulan yang bungkam bersama gemintangnya, pada rembulan yang tak lagi menari. Bibirku terasa gatal tuk bertanya “ Gerangan apa yang membuatmu tersenyum kepada sang candra yang tamak?” namun kini aku mengerti. 

Tangisannya telah hidupkan ribuan pohon yang hampir mati, hidupkan tanah yang gersang. Tangisannya tak lagi untuk duka, tak lagi pula untuk sang surya. Ia telah kembali ke pangkuan sang Bundanya. 

Dan pagi ini bersama secangkir coklat hangat, juga alunan musik indie, sang bumi mengajakku untuk tertawa pula, pada hati yang patah, 

Pada luka yang siap berganti suka

Selamat Hari Bumi

Unknown 
22 April 2020