![]() |
Ilustrasi Plang selamat datang di Kampus Perjuangan/Foto Istimewa |
KAMPUS adalah wadah ilmiah dimana setiap Mahasiswa ditempa wawasan dan pemikirannya agar supaya menghasilkan gagasan-gagasan yang jauh kedepan dan rasional. Untuk menyelam pada agenda penempaan itu, --meminjam istilah Rocky Gerung-- Kampus/atau dunia akademis harus memuat asas Fallibillism, yang itu artinya kampus terlebih dahulu harus steril dari dogma-dogma, budaya dan berbagai hal lain, karena di Kampus semuanya (khususnya tentang pengetahuan, ideologi dan berbagai doktrin) tidak bisa dimaknai secara konservatif dan diam. Semua hal seperti yang aku sebut dimuka di dalam kampus boleh disalahkan.
Untuk mengikuti penempaan berfikir itu, sebagai Mahasiswa yang sudah mempersiapkan bekal ingin berubah dan mencintai pengetahuan aku mengikuti organisasi ekstra kampus seperti teman-teman yang lain yang satu angkatan.Setidaknya di awal menjadi Mahasiswa itu aku sudah memasuki dua organisasi sekaligus untuk mencari dimana kira-kira organisasi yang pas untuk menempa diri.
Awal kali masuk aku menempati organisasi yang terbilang mapan, besar dan telah banyak menciptakan politisi-politisi nasional yang berjiwa baik maupun yang bermental korup. Aku disini hanya bertahan sampai beberapa pekan saja lantaran merasa tidak mendapatkan apa yang aku cari.
Awal kali masuk aku menempati organisasi yang terbilang mapan, besar dan telah banyak menciptakan politisi-politisi nasional yang berjiwa baik maupun yang bermental korup. Aku disini hanya bertahan sampai beberapa pekan saja lantaran merasa tidak mendapatkan apa yang aku cari.
Tidak menemukan proses penempaan yang matang, pun tidak pula menemukan sebuah gagasan dimana kebebasan berfikir, kebebasan berbudaya ada di dalamnya.
Setelah itu aku lebih memilih masuk ke sebuah organisasi pergerakan yang terakhir diketahui ternyata karakteristiknya sangat aneh dan bisa dibilang liberal.
Setelah itu aku lebih memilih masuk ke sebuah organisasi pergerakan yang terakhir diketahui ternyata karakteristiknya sangat aneh dan bisa dibilang liberal.
Dibilang liberal karena Organisasi ini satu-satunya organisasi yang tidak pernah memiliki orientasi yang jelas kedepan mau ngapain. Itu kenapa organisasi model ini sering disebut Mahasiswa sebagai organisasi taktis.
Namun dari sinilah proses penempaan yang aku inginkan betul-betul berlangsung dimana sekat-sekat budaya dan doktrin hampir tidak aku temukan.
Namun dari sinilah proses penempaan yang aku inginkan betul-betul berlangsung dimana sekat-sekat budaya dan doktrin hampir tidak aku temukan.
Tema diskusi tiap hari bergulir tanpa henti dengan berbagai macam pembahasan dari mulai yang biasa, ekstream, ultraekstream dilalui. Dari membahas issu-issu terbuka sampai yang terlarang sekalipun menurut takaran penguasa dan doktrin dibicarakan di Organisasi ini.
Aku dan sebagian kecil kawan yang lain mungkin merasa paling beruntung ada disini karena kita memiliki satu Senior yang dibilang memadai dalam berbagai pengetahuan. Mulai dari Filsafat, sejarah, teologi, politik, teknologi dan lain-lain yang kesemuanya itu tiada henti di transformasikan terhadap anggota-anggotanya yang mau di tempa.
Orang-orang yang terdahulu yang se zaman dengan aku selalu mengatakan dari sekian banyak mahasiswa yang berorganisasi, pasti hukum alam akan berlaku dimana yang tersisa hanya segelintir orang saja atau bahkan satu sampai empat biji.
Orang-orang yang terdahulu yang se zaman dengan aku selalu mengatakan dari sekian banyak mahasiswa yang berorganisasi, pasti hukum alam akan berlaku dimana yang tersisa hanya segelintir orang saja atau bahkan satu sampai empat biji.
Itu kenapa setiap diskusi internal memaksimalkan anggota yang telah ikut pendidikan akan sangat sulit sekali. Alih-alih satu dua orang yang mengikuti kajian itu, proses transformasi tidak henti-hentinya dilakukan untuk mendorong setiap anggota lebih maju dibandingkan dengan anggota organisasi yang lain.
Menanamkan Budaya Membumikan Literasi
Proses injeksi terus menerus inilah yang akhirnya menghancurkan dinding tebal yang menjadi aling-aling kesadaran aku terhadap pengetahuan, terhadap buku tertutup. Karena aku sangat menyadari betul, merasa bodoh tanpa menyelaminya terlebih dahulu tidak akan pernah berarti apa apa.Gambaran sederhananya begini" ketakutan kita terhadap tsunami akan menjadi ketakutan yang palsu ketika kita tidak merasakan langsung tsunami di selat sunda sana misalnya. Beda dengan yang merasakan langsung, untuk dekat dengan laut saja mereka bisa saja traumatik dan berimajinasi seolah-olah tsunami susulan datang kembali.
Artinya, untuk betul betul mengimani bahwa sesungguhnya kita bodoh, harus diperkuat oleh legitimasi moral kita dengan berinteraksi dengan kebodohan itu lewat cara diskusi, lewat cara tukar fikiran dan gagasan dan lain-lain.
Ketika kita diam seribu bahasa ditengah perkumpulan orang yang sedang membahas bidang ilmu pengetahuan, disitu kita akan memahami diri kita sendiri, bahwa ternyata kita tidak mengerti apa-apa.
Kita telah ketinggalan jauh oleh mereka yang saban hari kerjaannya sibuk membuka-buka buku. Itulah kesadaran sejati dimana moral kita telah terlegitimasi.
Semakin aku menyelam lebih dalam didalam kebodohan itu melalui membaca, melalui diskusi, melalui tukar fikiran aku semakin merasa menjadi manusia paling bodoh diantara yang lain.
Semakin aku menyelam lebih dalam didalam kebodohan itu melalui membaca, melalui diskusi, melalui tukar fikiran aku semakin merasa menjadi manusia paling bodoh diantara yang lain.
Aku mulai menyadari betul ternyata selama ini aku lebih banyak ga tahunya ketimbang banyak tahu bahkan untuk hal hal yang paling kecil dan sederhana sekalipun.
Sementara bergulat dengan berbagai lintas tema buku yang beragam, aku makin dan makin semangat lagi membaca lantaran kebodohan itu terus menerus datang mengintimidasi. Sebuah kesadaran yang terbilang telat, namun aku sangat memahami betul, bahwa dalam belajar semuanya tidak ada kata terlambat selagi kita mau gigih dan giat.
Dari lingkaran-lingkaran kecil organisasi ini pula aku mulai memberanikan diri mengutarakan pengetahuan yang telah aku dapat dari buku-buku yang dibaca itu.
Dari lingkaran-lingkaran kecil organisasi ini pula aku mulai memberanikan diri mengutarakan pengetahuan yang telah aku dapat dari buku-buku yang dibaca itu.
Aku mulai memberanikan diri memegang toa --katanya asah mental dan meneriakan ketidak adila di jalanan-- tetapi waktu itu masih belum berani banyak bicara di kelas.
Namun itu hanya soal waktu. Tinggal, seberapa besar kita terus menerus mendialektiskan diri, seberapa mampu kita ada dalam posisi penempaan ini.
Namun itu hanya soal waktu. Tinggal, seberapa besar kita terus menerus mendialektiskan diri, seberapa mampu kita ada dalam posisi penempaan ini.
Bahwa hidup itu sangat dialektis. Segala sesuatu tidak akan selamanya begitu, termasuk gagasan, termasuk pemikiran seseorang akan berubah pada waktunya nanti. Untuk persoalan ini, salah satu kawan aku bilang dengan mencontohkan salah satu tokoh; "dulu Buya Hamka shalat subuh tanpa Doa Qunut.
Seiring berjalannya waktu, seiring berkembangnya pengetahuan dan pemahaman, Buya Hamka kemudia shalat subuh menggunakan Doa Qunut.
Lantas ia ditanya, mengapa sekarang menggunakan doa Qunut? Dia bilang bahwa pengetahuan, cara berfikir manusia tidak akan stagnan sampai disitu saja."
Sampai disini aku juga mulai bijaksana dalam menilai orang lain, aku tidak ingin sama sekali mencela orang tak berpengetahuan hanya menurut persepsi kita dia ga bisa berargumentasi, belepotan bicara atau yang lain-lainnya.
Sampai disini aku juga mulai bijaksana dalam menilai orang lain, aku tidak ingin sama sekali mencela orang tak berpengetahuan hanya menurut persepsi kita dia ga bisa berargumentasi, belepotan bicara atau yang lain-lainnya.
Jika kita sampai memiliki persepsi itu terhadap orang lain, kita sedang dilingkupi pemikiran yang amat konservatif.
Kita sedang melihat orang dalam taraf mereka yang sedang menempa diri atau berproses. Sekali kali baiknya melihat orang lain jangan hanya dari sisi itu. Bahwa kehidupan itu dialektis, terus bergerak dan berubah.
Yang lebih lucunya lagi kadangkala persepsi ini disampaikan oleh Mahasiswa yang katanya menggemari teori-teori kiri, teori-teorinya Marxist. Tapi cara berfikirnya malah ga dialektis, cara berfikirnya konservatif.
Aku betul-betul gemar untuk memperluas pengetahuan. Semakin banyak menelan aku jadi semakin haus.
Yang lebih lucunya lagi kadangkala persepsi ini disampaikan oleh Mahasiswa yang katanya menggemari teori-teori kiri, teori-teorinya Marxist. Tapi cara berfikirnya malah ga dialektis, cara berfikirnya konservatif.
Aku betul-betul gemar untuk memperluas pengetahuan. Semakin banyak menelan aku jadi semakin haus.
Semakn jauh membaca aku semakin merasa bodoh. Aku berkesimpulan, bahwa ternyata, orang yang cerdas/atau berpengetahuan mendalam adalah mereka yang hari-harinya selalu dilingkupi rasa bodoh.
Untuk itu mereka terus menerus berfikir (berfikir artinya proses bertanya terus menerus dan mencari tahu jawaban atas pertanyaan itu).
Jadi pada dasarnya, orang yang berpengetahuan dan berwawasan luas itu adalah orang yang setiap waktunya merasa bodoh dan ga tahu apa apa secara sadar yang akhirnya mendorong dirinya sendiri untuk mencari tahu terus menerus. Para filusuf bisa tergolong dalam katagori ini.
Sebagai orang yang hidup dalam lingkaran organisasi yang terbilang kiri, aku akhirnya terbiasa dan dibiasakan diri oleh para tetua organisasi untuk bersentuhan dengan buku-buku kiri juga. Dengan pemikiran-pemikiran kiri, dengan persepsi-persepsi kiri.
Kiri, dalam terminologi sederhana aku pribadi adalah posisi ideologi atau posisi pemikiran yang cenderung maju atau progressif atau revolusioner. Tidak kaku terhadap sesuatu, serba dialektis dan memposisikan diri dengan kelas-kelas tertindas.
Setelah sedikit demi sedikit memahami dan mempelajari arus pemikiran ini, aku mulai mempraktekkannya dalam berbagai lini termasuk Organisasi sendiri.
Jadi pada dasarnya, orang yang berpengetahuan dan berwawasan luas itu adalah orang yang setiap waktunya merasa bodoh dan ga tahu apa apa secara sadar yang akhirnya mendorong dirinya sendiri untuk mencari tahu terus menerus. Para filusuf bisa tergolong dalam katagori ini.
Sebagai orang yang hidup dalam lingkaran organisasi yang terbilang kiri, aku akhirnya terbiasa dan dibiasakan diri oleh para tetua organisasi untuk bersentuhan dengan buku-buku kiri juga. Dengan pemikiran-pemikiran kiri, dengan persepsi-persepsi kiri.
Kiri, dalam terminologi sederhana aku pribadi adalah posisi ideologi atau posisi pemikiran yang cenderung maju atau progressif atau revolusioner. Tidak kaku terhadap sesuatu, serba dialektis dan memposisikan diri dengan kelas-kelas tertindas.
Setelah sedikit demi sedikit memahami dan mempelajari arus pemikiran ini, aku mulai mempraktekkannya dalam berbagai lini termasuk Organisasi sendiri.
Sampai disini aku mulai menemukan berbagai macam kontradiksi dalam organisasi yang aku tunggangi sendiri. Aku mulai bisa merasakan eksploitasi di dalam organisasi sendiri (sesuatu yang paling ditentang oleh kaum marxist).
Aku juga mulai mencium kaum oportunis didalam organisasi sendiri dengan berselimut didalam teori-teorinya orang marxist.
Keterangan: Tulisan ini dimuat dalam dua bagian. Ini merupakan bagian awal dari tulisan yang kami buat. Selamat membaca!!!
Keterangan: Tulisan ini dimuat dalam dua bagian. Ini merupakan bagian awal dari tulisan yang kami buat. Selamat membaca!!!
0Comments
Setiap komentar yang disematkan pada artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator