![]() |
Gambar Ilustrasi petani sedang memetik buah kopi/foto Isrtimewa |
Aku terlahir sebagai anak Petani, hidup di Padukuhan terpencil yang jauh dengan pusat keramaian kota. Bagi Aku dan sebagian kecil yang lain, bertani adalah aktifitas produksi yang amat mulia dan aktifitas yang paling vital dalam sebuah kehidupan meski dianggap kerja rendahan dan remeh oleh Negara.
Hal inilah yang kadangkala membuat kebanyakan orang gengsi untuk mengakui jika orang tuanya sebagai petani.
Sebagaimana mestinya anak Petani, sejak kecil aku dibiasakan oleh Ayah dan Ibu untuk selalu ikut bersama mereka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ringan di Kebun seperti memetik Melinjo, memetik Coklat, memungut Kemiri, memungut Kopi, membersihkan pepohonan yang rindang oleh rumput dan lain-lain.
Sebagaimana mestinya anak Petani, sejak kecil aku dibiasakan oleh Ayah dan Ibu untuk selalu ikut bersama mereka mengerjakan pekerjaan-pekerjaan ringan di Kebun seperti memetik Melinjo, memetik Coklat, memungut Kemiri, memungut Kopi, membersihkan pepohonan yang rindang oleh rumput dan lain-lain.
Dikala musim Padi atau Durian, Aku juga sewaktu-waktu ikut Ngumbulan. *Ngumbulan (Bhs: Sunda) adalah menunggu kebuh saban hari saban malamnya ketika Padi yang ditanam sudah mulai menua atau ketika musim Durian dating. Hal ini lazim dilakukan oleh para Petani untuk menjaga tanamannya dari hama yang sewaktu-waktu dating dan merusak.
Dari berbagai aktifitas yang sering dilakukan sejak kecil itu, pelan-pelan membentuk karakteristik dan budaya pergaulan hidup aku sehari-hari.
Anak kecil tetaplah anak kecil, yang kesehariannya serba dilingkupi dan berhasrat selalu ingin bermain dengan teman sebayanya. Tapi adagium itu tidak berlaku bagi aku karena keinginan kecil itu selalu dipaksakan untuk tidak terjadi oleh ayah. Inilah pendidikan awal yang selalu ia tanamkan pada anak-anaknya yang bisa aku sadari akhir-akhir ini hikmahnya.
Pagi itu, aku masih ingat betul hingga sekarang, selepas melakukan Shalat Idul Adha dan ayah beres melayani para tamu yang dating ke rumah, ia lantas mengajak pergi berkebun. Ibu mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan selama disana, tapi aku, malas, kesal dan ingin sekali menangis dan lari dari rumah.
Dari berbagai aktifitas yang sering dilakukan sejak kecil itu, pelan-pelan membentuk karakteristik dan budaya pergaulan hidup aku sehari-hari.
Anak kecil tetaplah anak kecil, yang kesehariannya serba dilingkupi dan berhasrat selalu ingin bermain dengan teman sebayanya. Tapi adagium itu tidak berlaku bagi aku karena keinginan kecil itu selalu dipaksakan untuk tidak terjadi oleh ayah. Inilah pendidikan awal yang selalu ia tanamkan pada anak-anaknya yang bisa aku sadari akhir-akhir ini hikmahnya.
Pagi itu, aku masih ingat betul hingga sekarang, selepas melakukan Shalat Idul Adha dan ayah beres melayani para tamu yang dating ke rumah, ia lantas mengajak pergi berkebun. Ibu mempersiapkan segala sesuatunya untuk keperluan selama disana, tapi aku, malas, kesal dan ingin sekali menangis dan lari dari rumah.
Namun tindakan itu hanya sampai terbesit dalam fikiran belaka, nyatanya aku tidak seberani Ayah yang saat kecil, menurut cerita saudara-saudara sekandungnya, ia sering kabur dari rumah untuk menghindari ajakan kakek. Sikap pengecut ini memang selalu ciut di hadapan Ayah karena sejak dini ia mendidik Anak-anaknya sangat keras.
Semua perasaan yang menggerutu itu memang bukan tanpa alasan. Untuk sampai di Kebun kita harus melewati dataran, turunan ringan dan tanjakan ringan. Kemudian melewati tanjakan tinggi selama kurang lebih 10 menit, melewati turunan panjang selama kurang lebih 15 menit.
Semua perasaan yang menggerutu itu memang bukan tanpa alasan. Untuk sampai di Kebun kita harus melewati dataran, turunan ringan dan tanjakan ringan. Kemudian melewati tanjakan tinggi selama kurang lebih 10 menit, melewati turunan panjang selama kurang lebih 15 menit.
Melewati arus air kali yang deras. Setelah itu kita melewati tanjakan tinggi lagi sampai ke pelataran gubuk kebun yang jaraknya berkisar 20-30 menitan.
Setelah disana kami langsung memasuki kebun Kopi Ayah yang masih kecil-kecil. Membabat rerumputan, memungut Kopi yang jatuh dari pohon yang sudah lebih dulu ada, menunas dan lain-lain.
Setelah disana kami langsung memasuki kebun Kopi Ayah yang masih kecil-kecil. Membabat rerumputan, memungut Kopi yang jatuh dari pohon yang sudah lebih dulu ada, menunas dan lain-lain.
Sampai disitu ayah banyak memberikan petuah dan nasihatnya bahwa dari tanaman inilah kelak aku akan bisa meneruskan pendidikan sampai jenjang yang paling tinggi sampai dengan berbagai kebutuhan-kebutuhannya.
Sebagai anak yang masih belia tentu saja aku tidak banyak peduli dengan nasihat-nasihat itu. Meski begitu, nasihat ini sedikit mengurai hati dongkol yang sejak berangkat sudah aku rasakan, dan aku menganggap ayah sedang tidak main-main dengan ucapannya itu.
Hingga sekarang, sampailah Aku duduk di bangku Kuliah dengan tanaman-tanaman itu sebagai penopang biaya utamanya. Setiap satu tahun sekali aku pulang ke rumah sebagaimana mestinya kebiasaan orang yang hidup di perantauan.
Hingga sekarang, sampailah Aku duduk di bangku Kuliah dengan tanaman-tanaman itu sebagai penopang biaya utamanya. Setiap satu tahun sekali aku pulang ke rumah sebagaimana mestinya kebiasaan orang yang hidup di perantauan.
Selama di rumah, kebiasaan berkebun aku tidak berkurang meski malasnya masih tertinggal. Aku disana menyambangi setiap tanaman yang tumbuh atas jerih payah ayah selama belasan tahun dengan keringat dan pengorbanannya.
Ada macam-macam jenis tanaman disana, dari mulai Lada, Cengkih, Kopi, Kemiri, Melinjo, Durian dan berbagai jenis tanaman dan buah-buahan yang lain. Aku terharu dan kadangkala sedih nan perih. Terharu karena begitu besar upaya orang tua untuk anak-anaknya yang tanpa mengeluh dan selalu ikhlas.
Sebagaimana manusia yang lain, aku pun meyakini baik ayah maupun ibu memiliki rasa lelah layaknya orang-orang yang lain. Sebagai seorang anak yang juga manusia biasa seperti mereka, tidak sama sekali sepatutnya kita merasa kesal dan marah ketika diajak berkebun dengan jarak yang sedemikian jauh.
Sebagaimana manusia yang lain, aku pun meyakini baik ayah maupun ibu memiliki rasa lelah layaknya orang-orang yang lain. Sebagai seorang anak yang juga manusia biasa seperti mereka, tidak sama sekali sepatutnya kita merasa kesal dan marah ketika diajak berkebun dengan jarak yang sedemikian jauh.
Toh, baik aku maupun ayah, kita sama-sama mengarunginya bersama. Sangat mustahil ketika aku mengeluh lelah tetapi ayah tidak misalnya. Sangat mustahil, apalagi ayah dan ibu melakukan itu di setiap harinya, bahkan menjadi aktifitas yang pokok.
Sementara perasaan sedih datang manakala aktifitas produktif yang mulia itu sama sekali tidak dihargai oleh Negara dengan kebijakan pasar bebasnya yang membunuh harga-harga hasil bumi para petani di pasaran.
Sementara perasaan sedih datang manakala aktifitas produktif yang mulia itu sama sekali tidak dihargai oleh Negara dengan kebijakan pasar bebasnya yang membunuh harga-harga hasil bumi para petani di pasaran.
Dahulu, lada dan cengkih merupakan komoditas yang luar biasa fantastis harga pasarnya dan bahkan orang-orang mancanegara yang dulu datang sampai mereka berniat untuk menjajah Nusantara adalah karena kekayaan alam dan komoditasnya yang amat melimpah.
Jika sekarang aku bersama ayah dan duduk dibawah pohon kopi yang telah besar untuk membasuh keringat masing-masing dari tubuh yang mulai mengucur, ingin sekali aku bilang kepadanya,
“Bangsa kita telah kalah ayah”, Bangsa kita telah berubah dengan proses dialektikanya yang menindas petani seperti kita, yang juga mempengaruhi perkembangan sosial budaya yang jika mendengar kata “Petani” alangkah alerginya sebagian orang ketika mendengar kata itu”!!!
Jika sekarang aku bersama ayah dan duduk dibawah pohon kopi yang telah besar untuk membasuh keringat masing-masing dari tubuh yang mulai mengucur, ingin sekali aku bilang kepadanya,
“Bangsa kita telah kalah ayah”, Bangsa kita telah berubah dengan proses dialektikanya yang menindas petani seperti kita, yang juga mempengaruhi perkembangan sosial budaya yang jika mendengar kata “Petani” alangkah alerginya sebagian orang ketika mendengar kata itu”!!!
0Comments
Setiap komentar yang disematkan pada artikel ini sepenuhnya menjadi tanggungjawab komentator